BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Hakikat Bahasa
Tak ada yang memungkiri bahwa bahasa memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan. Tanpa bahasa, manusia tidak dapat berbuat apa-apa atau bahkan jika bahasa tidak ada, manusia pun tidak ada. Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa yang harus dikuasai oleh setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, sangat penting untuk memberikan dasar-dasar berbahasa yang baik sedari usia dini dijenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) kepada anak. Selain itu, bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi.
Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pebelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis (Depdikbud, 1995). Sejalan dengan itu, Mulyasa (2003:89), menyatakan bahwa kurikulum 2004, yakni Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), mata pelajaran bahasa Indonesia bertujuan untuk mengembangkan kemampuan siswa berkomunikasi baik lisan maupun tulis, sebagai alat untuk mempelajari rumpun pelajaran lain, berpikir kritis dalam berbagai aspek kehidupan serta mengembangkan sikap menghargai bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan apresiatif terhadap karua sastra Indonesia.
Pembelajaran bahasa di SD menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses. Pembelajaran bahasa di Sekolah Dasar (SD) berupa mata pelajaran yang mulai diajarkan pada jenjang kelas rendah hingga kelas tinggi. Pembelajaran bahasa di SD dan MI diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan berbahasa, membantu siswa mengenal dirinya, budayanya dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya.
2.2 Ruang Lingkup Bahasa Indonesia
Sebagai alat untuk berkomunikasi, bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia.
Dalam Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah pada bagian D. Ruang Lingkup, dinyatakan bahwa ruang lingkup standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia SD dan MI terdiri atas empat aspek yaitu sebagai berikut.
a) Mendengarkan
Seperti mendengarkan berita, petunjuk, pengumuman, perintah, bunyi atau suara, bunyi bahasa, lagu, kaset, pesan, penjelasan, laporan, ceramah, kotbah, pidato, pembicaraan nara sumber, dialog atau percakapan, pengumuman, serta perintah yang didengar dengan memberikan respon secara tepat serta mengapresiasi dan berekspresi sastra melalui kegiatan mendengar hasil sastra berupa dongeng, cerita anak-anak, cerita rakyat, cerita binatang, puisi anak, syair lagu, pantun, dan menonton drama anak.
b) Berbicara
Seperti mengungkapkan gagasan dan perasaan, menyampaikan sambutan, dialog, pesan, pengalaman, suatu proses, menceritakan diri sendiri, teman, keluarga, masyarakat, benda, tanaman, binatang, gambar tunggal, gambar seri, kegiatan sehari-hari, peristiwa, tokoh, kesukaan/ketidaksukaan, kegemaran, peraturan, tata tertib, petunjuk, dan laporan, serta mengapresiasi dan berekspresi sastra melalui kegiatan melisankan hasil sastra berupa dongeng, cerita anak-anak, cerita rakyat, cerita binatang, puisi anak, syair lagu, pantun, dan menonton drama anak.
c) Membaca
Seperti membaca huruf, suku kata, kata, kalimat, paragraf berbagai teks bacaan, denah, petunjuk, tata tertib, pengumuman, kamus, ensiklopedi, serta mengapresiasi dan berekspresi sastra melalui kegiatan membaca hasil sastra berupa dongeng, cerita anak-anak, cerita rakyat, cerita binatang, puisi anak, syair lagu, pantun pantun dan drama anak. Kompetensi membaca juga diarahkan menumbuhkan budaya membaca.
d) Menulis
Seperti menulis karangan naratif dan normatif dengan tulisan rapi dan jelas dengan memperhatikan tujuan dan ragam pembaca, pemakaian ejaan dan tanda baca, dan kosakata yang tepat dengan menggunakan kalimat tunggal dan kalimat majemuk serta mengapresiasi dan berekspresi sastra melalui kegiatan menulis hasil sastra berupa cerita dan puisi. Komponen menulis juga diarahkan untuk menumbuhkan kebiasaan menulis.
2.3 Hasil Belajar
Menurut (Anni, 2006: 5) hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh dari pembelajar setelah mengalami aktivitas belajar. Perolehan aspek-aspek perubahan tingkah laku tersebut tergantung pada apa yang dipelajari oleh pembelajar. Maka dari itu proses belajar sepatutnya dilakukan secara aktif melalui berbagai kegiatan, seperti mengalami, melakukan, mencari dan menemukan, keaktifan siswa merupakan syarat utama untuk memperoleh hasil belajar yang baik. Sedangkan menurut Wingo (1970) dalam Sumiati dan Asra, (2009:41) hasil belajar sepatutnya menjangkau banyak segi, meliputi pengetahuan dan pemahaman tentang konsep, kemampuan menerapkan konsep, kemampuan menerapkan dan menjabarkan menarik kesimpulan serta menilai kemanfaatan suatu konsep, menyenangi dan memberi respon positif terhadap suatu yang dipelajari, dan diperoleh kecakapan melakukan suatu kegiatan tertentu.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan proses perubahan tingkah laku dari aktivitas dan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan. Maka dari itu guru dituntut untuk dapat menerapkan inovasi dalam pembelajaran dengan memilih model pembelajaran yang tepat agar mencapai tujuan yang diharapkan.
2.4 Metode Pembelajaran Bermain Peran (Role Playing)
Dalam pembelajaran guru dan peserta didik sering dihadapkan pada berbagai masalah, baik yang berkaitan dengan mata pelajaran maupun yang menyangkut hubungan sosial. Pemecahan masalah pembelajaran dapat dilakukan melalui berbagai cara, melalui diskusi kelas, Tanya jawab antara guru dan peserta didik, penemuan dan inkuiri. Guru yang kreatif senantiasa mencari pendekatan baru dalam memecahkan masalah, tidak terpaku pada cara tertentu yang monoton, melainkan memilih variasi lain yang sesuai.
Bermain peran merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh. Hasil penelitian dan percobaan yang dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa bermain peran merupakan salah satu model yang dapat digunakan secara efektif dalam pembelajaran. Dalam hal ini, bermain peran diarahkan pada pemecahan masalah yang menyangkut hubungan antar manusia, terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik.
Manusia merupakan makhluk sosial dan individual, yang dalam hidupnya senantiasa berhadapan dengan manusia lain atau situasi di sekelilingnya. Mereka berinteraksi, berinterdepedensi dan pengaruh mempengaruhi. Sebagai individu manusia memiliki pola yang unik dalam berhubungan dengan manusia lain. Ia memiliki rasa senang, tidak senang, percaya, curiga, dan ragu terhadap orang lain. Namun perasaan tersebut diarahkan juga pada dirinya. Perasaan dan sikap terhadap orang lain dan dirinya itu mempengaruhi pola respon individu terhadap individu lain atau situasi di luar dirinya. Karena senang dan penasaran ia cenderung mendekat. Karena tidak senang dan curiga ia cenderung menjauh. Manipestasi tersebut disebut peran. Peran dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian perasaan, ucapan dan tindakan, sebagai suatu pola hubungan unik yang ditunjukkan oleh individu terhadap individu lain. Peran yang dimainkan individu dalam hidupnya dipengaruhi oleh persepsi individu terhadap dirinya dan terhadap orang lain. Oleh sebab itu, untuk dapat berperan dengan baik, diperlukan pemahaman terhadap peran pribadi dan orang lain. Pemahaman tersebut tidak terbatas pada tindakan, tetapi pada faktor penentunya, yakni perasaan, persepsi dan sikap.
Bermain peran berusaha membantu individu untuk memahami perannya sendiri dan peran yang dimainkan orang lain sambil mengerti perasaan, sikap dan nilai yang mendasarinya. Bermain peran dalam pembelajaran merupakan usaha untuk memecahkan masalah melalui peragaan, serta langkah-langkah identifikasi masalah, analisis, pemeranan, dan diskusi. Untuk kepentingan tersebut, sejumlah peserta didik bertindak sebagai pemeran dan yang lainnya sebagai pengamat. Seorang pemeran harus mampu menghayati peran yang dimainkannya. Melalui peran, peserta didik berinteraksi dengan orang lain yang juga membawakan peran tertentu sesuai dengan tema yang dipilih. Selama pembelajaran berlangsung, setiap pemeranan dapat melatih sikap empati, simpati, rasa benci, marah, senang, dan peran lainnya. Pemeranan tenggelam dalam peran yang dimainkannya sedangkan pengamat melibatkan dirinya secara emosional dan berusaha mengidentifikasikan perasaan dengan perasaan yang tengah bergejolak dan menguasai pemeranan. Pada pembelajaran bermain peran, pemeranan tidak dilakukan secara tuntas sampai masalah dapat dipecahkan. Hal ini dimaksudkan untuk mengundang rasa kepenasaran peserta didik yang menjadi pengamat agar turut aktif mendiskusikan dan mencari jalan ke luar. Dengan demikian, diskusi setelah bermain peran akan berlangsung hidup dan menggairahkan peserta didik.
Hakekat pembelajaran bermain peran terletak pada keterlibatan emosional pemeran dan pengamat dalam situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Melalui bermain peran dalam pembelajaran, diharapkan para peserta didik dapat (1) mengeksplorasi perasaannya; (2) memperoleh wawasan tentang sikap, nilai, dan persepsinya; (3) mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah yang dihadapi; dan (4) mengeksplorasi inti permasalahan yang diperankan melalui berbagai cara. Pembelajaran partisipatif memiliki prinsip tersendiri dalam kegiatan belajar dan kegiatan pembelajaran. Prinsip dalam kegiatan belajar adalah bahwa peserta didik memiliki kebutuhan belajar, memahami teknik belajar, dan berperilaku belajar. Prinsip dalam kegiatan membelajarkan bahwa pendidik menguasai metode dan teknik pembelajaran, memaham materi atau bahan belajar yang cocok dengan kebutuhan belajar, dan berperilaku membelajarkan peserta didik. Prinsip-prinsip tersebut dijabarkan dalam langkah operasional kegiatan pembelajaran, sebagai wujud interaksi dukasi antara pendidik dengan peserta didik dan/atau antar peserta didik. Pendidik berperan untuk memotivasi, menunjukkan, dan membimbing peserta didik supaya peserta didik melakukan kegiatan belajar. Sedangkan peserta didik berperan untuk mempelajari, mempelajari kembali, memecahkan masalah guna meningkatkan taraf hidup dengan berpikir dan berbuat di dalam dan terhadap dunia kehidupannya
Beberapa ahli telah membahas tentang strategi bermain peran ini, beberapa di antaranya sebagai berikut:
1. Joyce dan Weil (2000)
Bermain peran (role playing) adalah strategi pengajaran yang termasuk ke dalam kelompok model pembelajaran sosial (social models). Strategi ini menekankan sifat sosial pembelajaran, dan memandang bahwa perilaku kooperatif dapat merangsang siswa baik secara sosial maupun intelektual.
2. Jill Hadfield (1986)
Hadfield menyebutkan bahwa strategi bermain peran (role playing) adalah suatu permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang. Dalam role playing murid dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas.
1) Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Bermain Peran (role playing)
a. Kelebihan strategi bermain peran (role playing)
Bermain peran adalah strategi mengajar yang memiliki beberapa kelebihan baik bagi siswa maupun bagi guru.
b. Strategi bermain peran dapat meningkatkan minat siswa
Poorman (2002), menyebutkan bahwa menurut hasil penelitian, strategi bermain peran dapat meningkatkan minat siswa terhadap suatu mata pelajaran dan materi pelajaran, sehingga dengan demikian juga dapat meningkatkan pemahaman terhadap konsep-konsep yang sedang dibelajarkan kepada mereka. Apalagi untuk mempersiapkan pembelajaran dengan strategi ini mereka harus terlebih dahulu melakukan studi tentang karakter atau tokoh yang akan diperankan atau dibuat skenarionya.
Fogg (2001) menyatakan bahwa pada kelas-kelas sejarah dimana para guru menjadi bosan dengan pembelajarannya dan menunjukkan kurangnya keterlibatan siswa dalam pembelajaran dapat diperbaiki dengan penerapan strategi bermain peran. Dari hasil pengamatan Fogg, siswa menjadi lebih tertarik dengan bahan pembelajaran yang diberikan.
c. Strategi bermain peran (role playing) dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran
Sebagaimana diketahui, siswa bukanlah botol kosong yang dengan serta-merta menerima ilmu pengetahuan yang diberikan oleh guru. Mereka harus terlibat aktif dalam kegiatan proses pembelajaran baik secara hands on maupun minds on.
Berdasarkan penelitian Poorman (2002), siswa yang diwawancarai mengatakan bahwa dengan strategi bermain peran yang dilaksanakan oleh guru, membuat mereka ingin terlibat aktif melakukan sesuatu dalam pembelajaran.
Hal ini senada sebagaimana yang diteliti Fogg (2001) bahwa pembelajaran yang menggunakan strategi bermain peran meningkatkan keaktifan siswa dalam kegiatan belajar.
d. Strategi bermain peran (role playing) dapat mengajarkan siswa untuk berempati dan memahami suatu hal melalui berbagai sudut pandang
Suatu kegiatan belajar yang menggunakan strategi bermain peran ternyata dapat mengajarkan siswa untuk berempati. Tentu saha kelebihan ini dapat dengan mudah kita maklumi karena strategi bermain peran sangat melibatkan emosi siswa. Ini adalah suatu hal yang sangat positif terkait domain afektif.
Dengan memainkan suatu peran tertentu, mereka akan memahami bagaimana posisi seseorang yang diperankannya. Dengan strategi bermain peran mereka tidak akan dengan mudahnya menghakimi seseorang atau suatu masalah, kecuali dengan terlebih dahulu melihatnya dari berbagai sudut pandang.
e. Strategi bermain peran memberikan kesempatan kepada siswa untuk memerankan tokoh yang barangkali dikenal dalam kehidupannya sehari-hari.
Dengan bermain peran siswa akan dapat mengalami dan merasakan bagaimana menjadi seorang tokoh yang mungkin familiar dalam kehidupan mereka. Hal ini akan membuat mereka menjadi lebih peka terhadap masalah-masalah yang ada di sekitarnya, meningkatkan keterampilan interpersonal, dan tentu saja dapat meningkatkan keterampilan komunikasi.
f. Strategi bermain peran dapat diterapkan dalam berbagai setting
Bermain peran dapat diterapkan dalam setting yang sangat bervariasi, termasuk di dalam ruang kelas standar. Selain itu bermain peran dapat dilakukan siswa secara individual maupun secara berkelompok.
2) Kelemahan strategi bermain peran (role playing) :
a. Strategi bermain peran membutuhkan kerja keras semua pihak yang terlibat
Mempersiapkan pembelajaran dengan strategi bermain peran kadangkala memerlukan kerja keras dari guru maupun siswa, atau bahkan pihak lain yang mungkin dilibatkan. Akan tetapi, semuanya ini akan impas dengan motivasi yang akan dimiliki siswa serta penguasaan terhadap konsep yang dibelajarkan pada mereka.
b. Alokasi waktu menjadi isu penting
Persiapan pelaksanaan strategi bermain peran tentunya membutuhkan alokasi waktu yang relatif lebih banyak ketimbang strategi lainnya. Hal ini wajar karena ada banyak hal yang harus dilakukan baik oleh guru maupun siswa sebelum dan saat melaksanakan pembelajaran dengan strategi ini.
3) Langkah-langkah strategi bermain peran (role playing)
Langkah yang dapat dilakukan guru untuk melaksanakan strategi bermain peran terdiri dari :
a. Menentukan tujuan pembelajaran
Pada tahap ini guru menentukan apa tujuan pembelajaran yang hendak dicapainya melalui strategi bermain peran (role playing) ini. Kemudian ini juga menentukan detil apa yang harus dilakukannya saat pembelajaran nanti. Hal ini sebenarnya tergantung sepenuhnya pada alasan mengapa guru ingin memasukkan startegi bermain peran (role playing) latihan dalam kegiatan pembelajarannya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada tahap ini dapat dideskripsikan oleh pertanyaan-pertanyaan berikut; (1) Topik apa yang guru ingin ajarkan?; (2) Berapa alokasi waktu yang tersedia/disediakan?; (3) Apa yang guru harapkan dari siswa setelah kegiatan strategi bermain peran selesai, apakah dalam bentuk penelitian, laporan, presentasi?; (4) Apakah guru ingin siswa bermain peran secara terpisah atau bersama-sama?; (5) Apakah guru ingin memasukkan sebuah elemen konflik dalam skenario?;
b. Memilih konteks dan peran, serta menulis skenario
Pada tahap ini guru, sebaiknya bersama-sama siswa memilih konteks dan peran yang akan dimainkan, dan tentunya juga menulis skenario. Guru dapat pula mempertimbangkan memilih dan mengadaptasi materi (skenario) yang lainnya telah disiapkan oleh guru lain (bila sudah tersedia). Jika guru menulis sendiri, maka guru harus mencari inforimasi latar belakang masing-masing karakter atau lebih baik lagi jika siswa juga membantu mengumpulkan informasi tersebut melalui studi kepustakaan atau sumber lain seperti internet.
c. Latihan pendahuluan
Beberapa siswa kemudian dipilih atau mengajukan diri untuk menjadi pemeran dari tokoh-tokoh atau karakter dalam skenario tersebut. Mereka kemudian berlatih untuk memerankan tokoh-tokoh itu sesuai dengan penafsirannya di bawah bimbingan guru. Latihan dilakukan beberapa hari sebelum tampil di depan kelas.
d. Kegiatan pembelajaran/pelaksanaan peragaan
Saat kegiatan pembelajaran guru menampilkan siswa-siswa yang telah berlatih memerankan karakter atau tokoh-tokoh dalam skenario pada beberapa hari sebelumnya. Sementara pertunjukan bermain peran dilakukan oleh beberapa siswa, siswa lainnya di dalam kelompok-kelompok mengamati dan mencermati lakon yang dimainkan. Mereka mendiskusikan kandungan dari permainan yang ditampilkan. Hal-hal yang guru harapkan akan didiskusikan siswa dapat dipadu melalui lembar kerja (LKS).
e. Mendiskusikan kesimpulan
Setelah kegiatan peragaan peran oleh siswa-siswa di depan kelas, maka setiap kelompok dapat membahasnya pada diskusi kelas. Tentu saja kegiatan ini dilakukan dengan panduan dan fasilitasi oleh guru untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Setiap kelompok kemudian mengajukan kesimpulannya dan guru kemudian memberikan umpan balik dan kesimpulan secara umum.
f. Penilaian
Penilaian dapat dilakukan terhadap bagaimana siswa memerankan karakter atau tokoh dalam skenario. Untuk siswa yang menonton peragaan, dapat dinilai dari kemampuan mereka menginterpretasikan skenario yang telah disajikan. Kemudian bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain dalam mengkomunikasikan isi dari skenario yang ditampilkan. Penilaian dapat pula dilakukan dengan meminta mereka menulis sebuah tulisan pendek yang sifatnya reflektif. Dan tentu saja, penilaian mengacu kepada tujuan pembelajaran yang diharapkan dapat dicapai siswa melalui kegiatan bermain peran (role playing) tersebut.
2.5 Penelitian yang relevan
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) terhadap pembelajaran bahasa Indonesia telah banyak dilakukan oleh pakar peneliti dan praktisi-praktisi pendidikan untuk memperbaiki proses dan hasil belajar. Berikut ini, peneliti menyertakan beberapa hasil penelitian tindakan kelas yang berhubungan dengan perbaikan pembelajaran bahasa indonesia dan penggunaan media atau model pembelajaran. Hal itu dilakukan sebagai rujukkan kegiatan pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini.
Berdasarkan penelitian Linggar Wijayanti (2012), upaya peningkatan hasil belajar belajar bahasa Indonesia melalui metode bermain peran berbasis kecerdasan linguistik pada siswa kelas V SDN 2 Panggang Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara semester II tahun pelajaran 2011/2012 menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran role playing mampu meningkatkan aktivitas dan pemahaman kelas V SDN 2 Panggang.
Peningkatan rata-rata aktivitas belajar siswa dari kondisi awal skor rata-rata 60,60, Siklus I 78,23, Sikus II 94,38. Peningkatan hasil belajar pada kondisi awal ke Siklus I sebesar 100% dan dari Siklus I ke Siklus II 100%. Dengan nilai maksimal Siklus I 100 dan minimalnya 71, dan Siklus II dengan nilai maksimal 100 dan minimal 86.
Memperhatikan hasil penelitian pendahulu tentang penggunaan model pembelajaran bermain peran (role playing), diyakini siswa memiliki pemahaman serta kemampuan yang lebih baik, serta nilai diatas KKM sehingga siswa menjadi lebih aktif dalam kegiatan belajar mengajar, dengan demikian siswa akan memperoleh hasil belajar yang semakin baik pula.
2.6 Kerangka Berpikir
Ada banyak cara yang dapat dilakukan oleh seorang guru untuk meningkatkan hasil belajar siswanya, misalnya dengan memilih strategi, pendekatan dan model belajar serta penggunaan media dan sumber belajar. Hal ini dilakukan supaya tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik dan maksimal.
Salah satu model yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan model pembelajaran bermain peran (role playing). Dalam model pembelajaran bermain peran (role playing) ini, siswa tidak hanya dilatih untuk dapat berbicara dengan baik dan benar tapi juga siswa diajak untuk mengembangkan keterampilannya dan sikap dalam memecahkan suatu masalah. Dengan menggunakan model pembelajaran bermain peran (role playing), siswa dilatih untuk mengembangkan kemampuan berbicaranya serta aktif dalam proses pembelajaran sehingga diharapkan semua siswa paham terhadap materi yang disampaikan dan diajarkan.
Dari uraian tersebut dan beberapa kajian teori serta hasil penelitian yang relevan, maka penulis memiliki pendapat atau gagasan yang disampaikan dalam bentuk bagan alur pikir sebagai berikut:
2.7 Indikator Kinerja
Indikator keberhasilan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini adalah dengan penerapan model pembelajaran bermain peran (role playing) dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SDN Ngajaran 03 Kecamatan Tuntang. Sebagai tolok ukur keberhasilan penelitian tindakan kelas ini adalah nilai siswa 80% mencapai KKM.
2.8 Hipotesis Penelitian
Dari latar belakang masalah, rumusan masalah dan landasan teori, maka hipotesis penelitian ini adalah ‘Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia dapat ditingkatkan dengan menggunakan Model Pembelajaran Bermain Peran (Role Playing) pada Siswa Kelas V SDN 03 Ngajaran Tuntang Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015’.