Pengertian tasawuf

A. Pengertian tasawuf
1. Shuffah (serambi tempat duduk), yaitu serambi masjid Nabawi di Madinah yang disediakan untuk orang-orang yang belum mempunyai tempat tinggal dan kalangan Muhajirin di masa Rasulullah SAW. Mereka biasa dipanggil ahli shuffah (pemilik serambi) karena di serambi masjid itulah mereka bernaung.
2. Shaf (barisan), karena kaum sufi mempunyai iman kuat, jiwa bersih, ikhlas, dan senantiasa memilih barisan yang paling depan dalam shalat berjamaah atau dalam perang suci.
3. Shafa, yaitu bersih atau jernih.
4. Shufanah, sebutan nama kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir.
5. Shuf (bulu domba), disebabkan karena kaum sufi biasa menggunakan pakaian dari bulu domba yang kasar, sebagao lambing akan kerendahan hati mereka, juga menghindari sikap sombong, serta meninggalkan usaha-usaha yang bersifat duniawi. Orang yang berpakaian bulu domba disebut “mutashawwif”, sedangkan perilakunya disebut “tasawuf”.
Kesimpulan pengertian di atas, bahwa tasawuf adalah sebagian ilmu ajaran Islam yang membahas cara-cara seseorang mendekatkan diri kepada Allah, seperti berakhlak yang tinggi (mulia), tekun dalam beribadah tanpa keluh kesah, memutuskan hubungan selain Allah karena kita merasa tidak memiliki suatu apapun didunia ini dan kita tidak dimiliki oleh siapapun dikalangan makhluk, menolak hiasan-hiasan duniawi seperti kelezatan dari harta benda yang biasa memperdaya manusia, dan menyendiri menuju jalan Allah dalam kholwat (mengasingkan diri dari keramaian dunia) untuk beribadah.
Secara sederhana, bahwa tasawuf adalah suatu sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah-mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam kerohanian dalam rangkan mendekatkan (taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan itu maka segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya.

Sejarah lahirnya tasawuf
Tasawuf lahir dan berkembang sebagai suatu disiplin ilmu sejak abad ke-2 H. Praktik-praktik tasawuf dimulai dari pusat kelahiran dan penyiaran agama Islam yaitu Mekkah dan Madinah.
Dikalangan para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa sumber yang membentuk tasawuf itu ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi, unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia. Kelima unsure ini secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Unsur Islam
Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pada unsur kehidupan bersifat batiniah itulah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya.
2. Unsur luar Islam
Dalam berbagai literature yang ditulis para orientalis Barat sering dijumpai uraian yang menjelaskan bahwa tasawuf Islam dipengaruhi oleh unsur agama Masehi, unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia. Hal ini secara akademik bisa saja diterima, namun secara akidah perlu kehati-hatian. Para orientalis Barat menyimpulkan bahwa adanya unsur luar Islam masuk ke dalam tasawuf itu disebabkan karena secara historis agama-agama tersebut telah ada sebelum Islam. Tetapi kita tidak dapat mengatakan bahwa boleh saja orang Arab terpengaruh oleh agama-agama tersebut, namun tidak secara otomatis mempengaruhi kehidupan tasawuf, karena para penyusun ilmu tasawuf atau orang yang kelak menjadi sufi itu bukan berasal dari mereka itu. Unsur-unsur luar Islam yang diduga mempengaruhi tasawuf Islam itu adalah sebagai berikut :
a. Unsur Masehi
Dalam ajaran Kristen ada faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara. Dalam literature Arab yang terdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang pasir Arabiah. Dikatakan bahwa zahid dan sufi dalam Islam meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri adalah atas pengaruh rahib Kristen.
b. Unsur Yunani
Ajaran Pythagoras untuk meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi, menurut sebagian orang inilah yang mempengaruhi zuhud dan tasawuf dalam Islam. Filsafat mistik Pythagoras mengatakan bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Kesenangan roh yang sebenarnya berada di alam samawi.
c. Unsur Hindu/Budha
Dalam ajaran Budha dinyatakan bahwa untuk mencapai nirwana orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Faham fana’ yang terdapat dalam tasawuf hampir serupa dengan faham nirwana. Dalam ajaran Hindu juga dianjurkan agar manusia meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan.
d. Unsur Persia
Diantara para orientalis ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari Persia, karena sebagian tokohnya berasal dari Persia, seperti Ma’ruf al-Karkhi dan Abu Yazid al-Bustami. Pendapat ini tidak mempunyai pijakan yang kuat, karena perkembangan tasawuf tidak sekedar upaya mereka saja. Banyak para sufi Arab yang hidup di Syria, bahkan di kawasan Afrika (Maroko), seperti al-Darani, Zu al-Nun al-Misri dan lain-lain.

B. Tasawuf pada masa Rasulullah
Seperti halnya al-Qur’an, sebagai salah satu sumber tasawuf dalam Islam, begitu juga halnya dengan kehidupan dan sabda Rasulullah SAW adalah salah satu sumber tasawuf.
Didalam kehidupan Nabi Muhammad SAW terdapat petunjuk yang menggambarkannya sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan dimana waktu itu orang Arab terbenam didalamnya, seperti dalam praktek perdagangan yang menggunakan segala cara yang menghalalkan.
Selama di Gua Hira yang beliau kerjakan hanyalah tafakkur, beribadah dan hidup sebagai seorang yang zahid. Beliau hidup sederhana, terkadang mengenakan pakaian tambalan, tidak memakan makanan atau meminum minuman kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada Allah SWT, sehingga Siti Aisyah, istri beliau bertanya : “Mengapa engkau berbuat begini ya Rasulullah, sedangkan Allah senantiasa mengampuni dosamu”. Nabi menjawab : “Apakah engkau tidak ingin agar aku menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah”.
Di kalangan para sahabat pun ada pula orang yang mengikuti praktek bertasawuf sebagaimana yang diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW. Abu Bakar Ash-Shiddiq misalnya berkata : “Aku mendapatkan kemuliaan dalam ketakwaan, kefanaan dalam keagungan dan rendah hati”. Demikian pula khalifah Umar Ibn Khattab pada suatu ketika pernah berkhotbah di hadapan jamaah kaum muslimin dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana. Selanjutnya khalifah Usman Ibn ‘Affan banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan membaca al-Qur’an, baginya al-Qur’an ibarat surat dari kekasih yang selalu dibawa dan dibaca ke manapun ia pergi. Demikian pula sahabat-sahabat lainnya seperti Abu Dzar al-Ghiffari, Tamin Darmy, dan Huzaifah al-Yamani.
Selain sumber-sumber tersebut di atas, situasi masyarakat pada masa itu pun ikut serta mempersubur lahirnya tasawuf. Setelah Islam tersebar ke segala penjuru dan makin kokoh pemerintahan Islam serta semakin makmurnya masyarakat, maka mulai timbul pola hidup yang bermewah-mewah dan berfoya-foya. Dalam keadaan demikian timbulah sekelompok masyarakat yang melakukan protes dengan cara hidup zuhud, seperti yang diperlihatkan oleh Hasan al-Basri. Tokoh ini dengan gigih dan gayanya yang retorik telah mampu mengembalikan kaum muslimin kepada garis agama dan munculah kehidupan sufistik. Sikap protes ini kemudian mendapat simpatik dari masyarakat dan timbulah pola hidup tasawuf.
Bersamaan dengan itu pada masa ini timbul pula aliran-aliran keagamaan, seperti lahirnya aliran Khawarij, Muktazilah, dan lain-lain. Aliran keagamaan ini dikenal banyak mempergunakan rasio dalam mendukung ide-idenya. Untuk membendung aliran ini maka timbulah kelompok yang tidak mau terlibat dalam penggunaan akal untuk membahas soal-soal tasawuf. Kelompok yang terakhir ini berusaha mengasingkan diri dan memusatkan diri untuk beribadah kepada Allah.

C. Tasawuf yang di kembangkan oleh Abdul Qadir Al-Jailani, Abul Qasim al-Junaidi Al-Baghdadi, Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali.
• Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah tokoh sufi yang mempunyai pengikut dan pengaruh besar di dunia Islam. Ia dikenal sebagai penguasa para wali (Sultan al-Auliya’) dan pemuka para sufi (Imam al-Ashfiya’). Jamaah sufi yang dinisbatkan kepadanya (Qadiriyah) merupakan tarekat yang paling tua usianya dan paling luas daerah penyebarannya. Ia seorang tokoh spiritual muslim yang benar-benar menghidupkan ruh Islam yang sejati, sehingga ia mendapat predikat muhyi ad-din (penghidup agama). Karena itulah Ibnu Taimiyyah pernah memuji manhaj akidahnya al-Jailani.
Al-Jailani adalah seorang tokoh sufi yang sangat terkenal, seorang pendiri tarekat Qadiriyah yang dilahirkan di Naif, Jailan pada 1 Ramadhan 470 H./1077 M. Sejak kecil ia sudah ditinggal ayahnya. Kealimannya sudah tampak di masa bayinya. Ia tidak mau menyusu di siang hari pada bulan Ramadhan. Ia dididik dalam lingkungan besar lagi mulia, sesuai dengan nasab dan keturunannya. Ia digembleng dalam didikan kaum sufi yang hidup serba sederhana dan ikhlas. Kesibukan al-Jailani dalam upaya ruhaniah membuatnya asik dan hampir lupa akan kewajibannya untuk berumah tangga. Pada akhirnya, di usianya yang ke-51 beliau menikah dan mempunyai empat orang istri. Dari keempat istrinya itu, al-Jailani empat puluh sembilan anak, dua puluh putra dan selebihnya puteri. Beliau menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti Fikih, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Khilaf, Ilmu Ushul, Ilmu Nahwu, Ilmu Tajwid, Ilmu Sharaf, Ilmu Arudh, Ilmu Balaghah, Ilmu Mantiq dan Tasawuf.
Menurut al-Jailani, tasawuf diambil dari kata “ash-shafa” yang bermakna suci. Hati disucikan dengan makanan yang halal, dengan berma’rifat secara sungguh-sungguh dan benar kepada Allah. Seorang sufi yang benar di dalam tasawufnya akan mensucikan hatinya dari segala sesuatu selain Allah. Ia tidak menjelekkan baju, menguningkan wajah, dan lain-lain dengan maksud menghinakan diri pada dunia. Akan tetapi, seorang sufi akan datang dengan kejujurannya dalam mengharap Allah, dengan zuhudnya terhadap dunia, dengan mengeluarkan makhluk dari dalam hatinya, dan dengan mengosongkan diri dari segala sesuatu selain dari Allah.
Pandangan al-Jailani di atas nampak bahwa ia juga memberikan kritik terhadap praktik-praktik sufi yang berlebihan pada masanya. Menurutnya, seorang sufi adalah mereka yang selalu berusaha menyucikan lahir batinnya dengan tidak meninggalkan ajaran yang tertuang dalam kitab suci serta sunnah Rasulullah. Sedang tasawuf adalah senantiasa berperilaku benar dan jujur dalam kebajikan, dan berperilaku baik kepada semua makhluk Allah. Sehingga dalam hal ini, bagi al-Jailani, perilaku sufi tidak terpisah dari konteks hubungan individu dengan Allah dan juga hubungannya dengan manusia yang harus seimbang.
Konsepsi sufistik al-Jailani adalah konsepsi sufistik yang murni, dilandasi oleh ketentuan syari’at Ilahi. Ia melarang seseorang mencebur dalam dunia sufi sebelum orang itu matang dan kuat syariatnya. Sebab, hubungan syari’at diantara thariqah, ma’rifah, dan haqiqah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW. “Syari’at laksana batang pohon, thariqah adalah cabang-cabangnya, ma’rifah adalah daunnya sedangkan haqiqah adalah buahnya”. Jadi untuk memetik buahnya seorang sufi harus melalui tahap pengamalan syari’at dengan istiqamah.
• Abul Qasim Al- Junaidi Al- Baghdadi
Al-Junaid memiliki nama lengkap Abu al-Qasim al-Junaid ibn Muhammad al-Khazzaz al-Qawariri al-Baghdadi. Al-Junaid lahir di Nahawad, pada tahun 210 H. Ia tumbuh dewasa dan menghabiskan hidupnya di kota Baghdad, wafat pada 297 H.
Al-Khazzaz dan juga al-Baghdadi yang disematkan pada namanya tak lain merupakan sebuah gelar. “Al-Khazzaz” berarti saudagar sutera yang kaya raya. Pun demikian dengan ayahnya yang bergelar “Al-Qawarir” yang berarti saudagar kaca. Sedangkan “Al-Baghdadi” adalah menunjukkan tempat hidupnya. Namun demikian, kekayaan yang dipunyai tidak membuatnya sibuk dengan urusan duniawi. Al-Junaid justru semakin dekat dengan sang Maha Kuasa.
Sebagai seorang sufi masyhur, al-Junaid sebetulnya tidak memiliki karya yang secara khusus mengulas pemikiran tasawuf. Namun al-Kalabadzi menulis bahwa tasawuf menurut al-Junaid adalah membersihkan hati dari pengaruh duniawi, menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tercela, menghindari godaan hawa nafsu, menghiasi diri dengan sifat-sifat ruhaniah melalui ilmu hakikat, lebih bersandar kepada sesuatu yang bersifat abadi, menyeru kepada kebaikan yakni dengan mengikuti Rasulullah dan apa yang telah disyariatkan.
Untuk menyelami pemikiran tasawuf al-Junaid, para pengkaji mendapatkan pada buku Rasail al-Junaid. Buku tersebut adalah kumpulan beberapa surat-surat al-Junaid kepada para sahabatnya –sufi yang sezaman dengannya. Selain itu ada beberapa tema pokok yang dibahasnya, yakni tentang uluhiyah, tauhid, mitsaq, fana’ dan lain-lain. Beberapa penulis tasawuf meyakini bahwa al-Junaid sangat mendalam dalam membahas tauhid.
Dalam risalah tauhidnya ia berkata :
Ketahuilah sesungguhnya awal ibadah kepada Allah adalah makrifat kepada-Nya. Pokok dari makrifat kepada Allah adalah mentauhidkan-Nya. Prinsip mentauhidkan Allah adalah menafikan sifat dari-Nya. Allah adalah dalil atas wujud-Nya. Sarana untuk mecapai dalil atas wujud Allah hanyalah taufik dari-Nya. Hanya dengan taufik dari Allah seseorang mampu mentauhidkan-Nya. Setelah tauhid, orang tersebut akan mencapai tasdik (pengakuan). Dari tasdik menuju tahkik (penetapan) sesudah tahkik maka terjadi makrifat kepada Allah. Dari makrifat kepada Allah akan muncul ketaatan kepada-Nya. Dari ketaatan akan meningkat naik kepada Allah. Dari tangga naik akan terjadi ketersambungan kepada Allah. Dari ketersambungan terjadilah transparan. Dari transparan terjadi kebingungan. Setelah bingung, hilang transparasi. Akibat kehilangan transparasi maka tidak mampu melukiskan Allah. Setelah itu dia akan mencapai hakikat wujud-Nya. Lalu masuk kepada hakikat syuhud dengan hilang wujudnya. Dengan kehilangan wujudnya maka wujudnya menjadi murni. Dengan kemurnian wujud, hilang sifat-Nya. Dari hilangnya tersebut, ia hadir secara total. Dia antara ada dan tiada, antara tiada dan ada. Ia ada tapi disisi lain tiada, ia tiada tapi disisi lain ada. Kemudian dia menjadi ada setelah tiada. Lalu dia pun akan menjadi dia setelah tiada. Setelah dia tiada, maka dia menjadi ada dan ada, setelah ada dan tiada.
Kalimat (ومن الترقي اليه وقع الإتصال به) atau yang berarti “Dari tangga naik akan terjadi ketersambungan kepada Allah”. Ungkapan penuh makna tersebut dapat dipahami memiliki kemiripan dengan konsep menyatunya hamba dengan Allah. Sangat besar kemungkinan para sufi sesudah al-Junaid (seperti al-Hallaj dan juga Ibn Arabi) mengadopsi kalimat di atas sebagai landasan pemikiran kebersatuan hamba dengan Tuhan.
Ungkapan al-Junaid di atas menggambarkan bagaimana tingkatan menuju ketauhidan yang “hakiki”. Cukup sulit mencerna ungkapan al-Junaid yang mempunyai nilai bahasa sufi yang tinggi. Tetapi penulis menggaris bawahi kalimat “Hanya dengan taufik dari Allah seseorang mampu mentauhidkan-Nya”, yang dapat diartikan bahwa sebesar apapun usaha hamba mencapai ketauhidan tidak akan berarti tanpa taufik Allah. Artinya, hidayah Allah sangat dibutuhkan untuk mendekat kepada Allah.
• Muhammad ibn Muhammad Al–Ghazali
Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Al Ghazali Ath Thusi merupakan nama lengkap dari Al Ghazali sebagai panggilannya atau Abu Hamid Al Ghazali. Ia adalah seorang Persia asli yang dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di Thus (sekarang dekat Mashed) sebuah kota kecil di Khurasan (sekarang bernama Iran). Dalam ilmu tasawuf, Al Ghazali sangat berperan penting.
Ada beberapa ajaran yang diajarkan oleh Imam Al Ghazali diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Tasawuf
Al Ghazali sebagai orang yang haus akan segala ilmu pengetahuan. Ia berusaha sekeras mungkin agar dapat mencapai suatu keyakinan dan mengetahui hakikat segala sesuatu. Sehingga ia selalu senantiasa bersikap kritis dan kadang ia tidak percaya terhadap adanya kebenaran semua macam pengetahuan, kecuali yang bersifat inderawi dan pengetahuan hakikat.
2. Filsafat Metafisika
Al Ghazali menghantam pendapat-pendapat filsafat Yunani, diantaranya juga Ibnu Sina dalam dua puluh masalah diantaranya adalah yang terpenting yaitu :
a) Al Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat Aristoteles tentang azalinya alam dan dunia.
b) Al Ghazali menyerang kaum filsafat Aristoteles tentang pastinya keabadian alam.
c) Al Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat bahwa Tuhan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui soal-soal yang kecil.
d) Al Ghazali juga menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum sebab dan akibat semata-mata, dan mustahil ada penyelewengan dari hukum itu.
3. Etika
Filsafat etika Al Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam bukunya ihya ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al Ghazali adalah teori tasawufnya.
4. Konsep iman dan kufur
Al Ghazali dalam pemikirannya, menentang ilmu kalam dan para ulama kalam, meski ia sendiri tetap menjadi seorang tokoh ilmu kalam. Sebagaimana penyerangannya terhadap argumen-argumen para filosof, tetapi tetap ia terjadi tokoh filosof. Kritikan Al Ghazali kepada para ulama kalam hanya ditujukan kepada tingkah laku mereka dan kejauhan hati mereka dari agama yang dipertahankannya oleh mereka melalui argumentasi.

D. Tarekat Mu’tabarah dan praktiknya
Tarekat berasal dari bahasa Arab adalah “ طريقـة /thariqah”, jamaknya ئيق طرا /tharaiq, yang berarti : Jalan.
Sedangkan menurut istilah Secara Terminologi (istilah), Tarikat adalah jalan yang mengacu kepada suatu sistem latihan meditasi maupun amalan-amalan (mu’tabarah, zikir, wirid, dan sebagainya).
Menurut Ensiklopedi Islam tarekat berarti : “perjalanan seorang saleh (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan”.
Sedangkan mu’tabarah menurut bahasa artinya adalah dianggap sah atau diakui, Menurut Sri Mulyati, salah satu tolok ukur yang sangat penting bagi sebuah tarekat muktabarah (dianggap sah) atau tidaknya adalah unsur silsilah.
Praktik Tarekat Mu’tabarah, pertama menuntut ilmu untuk dilaksanakan sebagai perintah Tuhan, kedua mendampingi guru dan teman setarekat untuk meneladani, ketiga meninggalkan rukhsah dan ta’wil untuk kesungguhan, keempat mengisi semua waktu dengan do’a dan wirid, dan kelima mengekangi hawa nafsu daripada berniat ialah untuk keselamatan.

E. Nahdlatul Ulama dalam mengelola Tarekat
Nahdlatul Ulama punya semacam aturan baku yang melindungi eksistensi tarekat yang ada di Indonesia. Namun, yang perlu kita ketahui bahwa antara NU dan Tarekat memiliki perbedaan-perbedaan, di antaranya, bila Tarekat merupakan bagian dari NU, namun warga NU tidak harus gabung ke tarekat, karena kenyataannya banyak sekali warga NU yang enggan masuk ke dalam sebuah Tarekat. Mereka cukup nyaman bergabung dengan sebuah Majelis Taklim, atau Majelis Maulid dan Diba’. Meski demikian, terdapat amaliah warga NU yang juga tetap eksis di dalam Tarekat sufi. Misal manaqiban, wiridan, bershalawat kepada Rasulullah saw, khataman dan ziarah ke makam auliya. Ini merupakan salah satu pengaruh yang paling nyata dari usaha atau jerih payah penyebaran Islam di Nusantara oleh ulama-ulama sufi.
Beralih ke soal Kebijakan NU terhadap Tarekat, bagi NU, tidak ada diskriminasi dalam hal Tarekat. Semua Tarekat dianggap sah atau bahasa lainnya mu’tabarah asalkan sesuai dengan ajaran Ahlu Sunnah versi NU. Selain itu, silsilahnya bersambung hingga Rasulullah SAW tanpa terputus. Hal ini didasarkan pada penelusuran teks-teks keputusan Bathsul Masail mulai pertama sampai dengan yang paling baru, tidak ada keputusan atau fatwa yang menyatakan Tarekat yang sesat atau tidak sesuai dengan Islam. Bahkan dalam Muktamar NU ke-3 di Surabaya 29-30 September 1926, dan Muktamar ke-6 di Cirebon tahun 1931, dinyatakan sahnya tiap Tarekat asal sesuai dengan makna Tarekat yang mengacu kitab Syarah Maraqy al-Ubudiyyah ala Matan Bidayah al-Hidayah. Tetap memakai prinsip nabi Muhammad SAW.

Daftar Pustaka
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf, Ramadhani, Solo, 1984.
Ahmad, Zainal Abidin, Riwayat HidupImam Al-Gazali, Bulan Bintang, Jakarta, 1975.

Leave a Comment

Time limit is exhausted. Please reload the CAPTCHA.