Indonesia merupakan negara agraris yang sektor perekonomiannya didominasi oleh sektor pertanian. Hal tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian saat ini masih menjadi sektor yang berperan penting dalam pembangunan nasional terutama dalam memenuhi kebutuhan pangan maupun industri di Indonesia. Hal itu disebabkan sektor pertanian yang sekaligus menjadi sektor primer akan menjadi pemasok utama dalam kegiatan industri, seperti yang diungkapkan oleh Priyanto dkk (2014) bahwa sektor industri dan perdagangan dapat maju jika pemasok bahan primernya kuat. Bukan hanya itu, sektor pertanian juga berperan dalam meningkatkan ekspor, meningkatkan pendapatan petani, memperluas kesempatan kerja, serta mendorong pemerataan kesempatan berusaha (Kuncoro, 2010).
Tingginya peran sektor pertanian dalam pembangunan nasional ditunjukkan melalui Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Berdasarkan Tabel 1 PDB sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan menunjukkan kontribusi yang cukup besar yaitu sekitar 13%. Meskipun persentase kontribusi sektor pertanian cenderung menurun, akan tetapi sektor tersebut selalu memasuki tiga kontributor PDB tertinggi dari tahun 2014 hingga 2016. Artinya sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan masih menjadi sektor yang strategis bagi pendapatan nasional dan devisa negara.
Sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan terdiri atas beberapa subsektor yang salah satunya yaitu subsektor perkebunan. Komoditas-komoditas dalam subsektor perkebunan menjadi pendukung utama dalam sektor pertanian. Bahkan tanaman-tanaman hasil perkebunan banyak yang menjadi komoditas ekspor utama di Indonesia. Salah satu hasil perkebunan yang mampu menjadi pendukung utama dalam sektor pertanian adalah mete yang merupakan hasil dari tanaman jambu mete (Anacardium Occidentale).
Jambu mete merupakan tanaman yang berasal dari Brazil Tenggara yang tumbuh di beberapa negara beriklim tropis dan subtropis seperti Bahanam Senegal, Kenya, Madagaskar, Mozambik, Srilanka, Thailand, Malaysia, Filiphina dan Indonesia (Budidaya Petani, 2013). Di Indonesia tanaman jambu mete tersebar di berbagai daerah seperti Jawa, Sulawesi, Bali, Nusa tenggara Barat, Maluku, dan Papua.
Jambu mete menunjukkan prospek yang baik di Indonesia, hal tersebut ditunjukkan dengan produksi jambu mete di Indonesia yang terus mengalami kenaikan sejak tahun 2011 hingga tahun 2015 (Gambar 1). Produksi jambu mete mencapai 137.580 ton per tahun pada tahun 2015. Sekitar 61% volume dari hasil produksi tersebut di ekspor dalam bentuk gelondong mete, 13% diekspor berupa kacang mete yang telah dikupas, 2% lainnya diekspor dalam bentuk jambu mete maupun kacang yang sudah diawetkan dan 24% digunakan untuk konsumsi dalam negeri (Direktorat Jendral Perkebunan, 2016). Kacang mete tersebut diekspor ke berbagai negara, diantaranya yaitu India dan Vietnam yang menjadi negara tujuan ekspor dengan volume tertinggi diantara negara lainnya.
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa Pulau Jawa memiliki tingkat produktivitas jambu mete tertinggi di seluruh Indonesia. Besarnya potensi tersebut mampu menjadikan jambu mete di Jawa sebagai komoditas andalan. Salah satu sentra Jambu mete yang berkembang saat ini berada di Daerah Istimewa Yogyakarta, lebih tepatnya berada di Kabupaten Gunungkidul.
Kabupaten Gunungkidul telah mengembangkan tanaman Jambu mete sejak tahun 1970-an dan terus berkembang hingga saat ini. Hal tersebut dibuktikan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS, 2016) mengenai luas area tanaman Jambu mete terluas berada di Kabupaten Gunungkidul yaitu sebesar 11.114,25 hektar atau sekitar 89% pada tahun 2015. Bahkan Dirjen Perkebunan telah menetapkan beberapa desa di Kabupaten Gunungkidul sebagai sentra Jambu mete. Berdasarkan SK Dirjen Perkebunan No. 56/KB.820/SK/DJ.BUN/06/1996 ditetapkan 4 lokasi blok penghasil tinggi mete, yaitu Desa Gedangrejo dan Desa Bulu yang berada di Kecamatan Karangmojo, Desa Watusinger yang berada di Kecamatan Ngawen, dan Desa Rejosari yang berada di Kecamatan Semin.
Sangat bergantungnya keberhasilan panen mete terhadap musim menyebabkan munculnya permasalahan bagi petani mete di Kabupaten Gunungkidul. Kacang mete adalah tumbuhan tahunan yang hanya bisa dipanen sekali dalam setahun pada saat musim kemarau atau pada bulan (Juli—Oktober). Hal tersebut menyebabkan terkendalanya ketersediaan bahan baku mete di Gunungkidul yang nantinya akan berdampak pula pada pengrajin-pengrajin mete di daerah tersebut. Listyati dan Sudjarmoko (2011) juga mengatakan jika produktivitas mete masih tergolong rendah akan menyebabkan industri pengolahan mete juga mengalami kendala berupa keberlangsungan ketersediaan bahan baku yang menyebabkan tidak berkembangnya industri mete.
Menurut petani mete di Kabupaten Gunungkidul, produksi kacang mete selama dua tahun terakhir ini dinilai kurang maksimal akibat tidak menentunya musim hujan dan kemarau. Bunga mete yang telah berkembang tidak dapat berbuah menjadi jambu mete saat sudah terkena hujan. Tidak menentunya pergantian musim menyebabkan permintaan kacang mete tidak dapat terpenuhi sehingga Kabupaten Gunungkidul harus membeli kacang mete dari daerah lain seperti Wonogiri untuk memenuhi permintaan pasar.
Petani mete di Gunungkidul rata-rata menjual kacang mete masih dalam bentuk gelondong mete. Petani mete menjual dalam bentuk gelondong disebabkan adanya desakkan ekonomi keluarga yang harus segera dipenuhi sehingga mereka tidak melakukan pengolahan pascapanen terlebih dahulu. Hal tersebut membuat pengolahan pascapanen kacang mete dirasa belum maksimal. Sebagian besar kacang mete yaitu sekitar 90% dijual keluar daerah masih dalam bentuk gelondong mete dan pengolahan oleh pengrajin mete Gunungkidul hanya sekitar 10%. Penjualan kacang mete dalam bentuk gelondong sebenarnya dapat mengurangi nilai tambah ekonomi mete yang merugikan petani mete.
Berdasarkan kondisi tersebut perlu adanya kajian mengenai saluran perdagangan komoditas jambu mete di Gunungkidul. Analisis yang dapat diterapkan pada permasalahan tersebut yaitu analisis value chain. Analisis value chain dapat dimanfaatkan untuk mengetahui bagaimana pola perdagangan jambu mete dari pemasok hingga ke konsumen akhir. Melalui cara tersebut dapat diketahui pula aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh setiap aktor dalam saluran perdagangan yang nantinya memiliki nilai tambahnya masing-masing dan akan berpengaruh pada nilai akhir produk ke tangan konsumen akhir. Hal ini menjadi penting dalam upaya pemerataan kesejahteraan melalui pengurangan kesenjangan antar aktor dalam saluran perdagangan serta penting pula dalam hal penguatan komoditas mete sehingga memiliki daya saing yang kompetitif di pasar.
Analisis value chain komoditas mete yang dilakukan di Kabupaten Gunungkidul menggunakan pendekatan keruangan. Pendekatan ini dipilih karena relevansinya dengan pola perdagangan yang terjadi dalam ruang sehingga membentuk pola keruangan. Analisis value chain bertujuan untuk mengetahui saluran perdagangan kacang mete mulai dari petani hingga konsumen. Saluran perdagangan yang terjadi di Gunungkidul akan menjadi suatu pola perdagangan di wilayah tersebut.
2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat disimpulkan beberapa rumusan masalah sebagai berikut,
1) Bagaimana pola rantai nilai komoditas mete di Kabupaten Gunungkidul?
2) Apa aktivitas yang dilakukan di setiap aktor dalam saluran perdagangan?
3) Bagaimana nilai tambah ekonomi mete pada pola perdagangan di Kabupaten Gunungkidul?
4) Bagaimana strategi penguatan rantai nilai komoditas mete di Kabupaten Gunungkidul?
3. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk,
1) Mengetahui pola rantai nilai komoditas mete di Kabupaten Gunungkidul.
2) Mengulas aktivitas yang dilakukan di setiap aktor dalam saluran perdagangan.
3) Mengetahui nilai tambah ekonomi pada pola perdagangan di Kabupaten Gunungkidul.
4) Menentukan strategi penguatan rantai nilai komoditas mete di Kabupaten Gunungkidul.
Kegunaan penelitian ini,
1) Memberikan informasi mengenai pola rantai komoditas mete di Kabupaten Gunugkidul.
2) Menjadi masukan untuk arahan strategi penguatan komoditas mete di Kabupaten Gunungkidul.
4. TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1) Global Value Chain
Global value chain (GVC) merupakan ilmu yang mempelajari hubungan perdagangan antara ruang produser dan ruang konsumen dalam skala global (Humprey, 2006) dan ketergantungan pasar terhadap partisipasi produksi global yang “diatur” oleh perusahaan utama di pasar negara maju semakin meningkat (Schmitz dan Knorringa, 1999). “Peraturan” yang dibentuk perusahaan utama di pasar negara maju sangat bergantung dengan otonomi dalam suatu konteks institusi (Gibbson, 2001).
Menurut Petkova (2006), teori global value chain menunjukkan adanya penurunan peran regulasi terhadap pembangunan global. Selain itu, teori GVC sangat berperan dalam pemahaman ekonomi global yang lebih sistematis. Logika GVC dapat meningkatkan efisiensi dalam sistem bergerak seperti perilaku strategis yang mampu menstabilkan aktor “pemimpin”.
Analisis global value chain banyak diterapkan dalam analisis spasial yang mengadaptasi sistem dunia dan teori ketergantungan (Gwynne, 2008). Analisis GVC dapat menentukan peran dan posisi suatu aktor dalam saluran perdagangan global dan lokal serta persebarannya secara geografis dan integrasi organisai dari rantai nilai (Lee, Gereffi, dan Beauvais, 2012). Pendekatan GVC berfungsi pula untuk mengidentifikasi titik pengaruh dalam rantai nilai seperti aktor yang berperan dalam membawa perubahan yang diinginkan atau tidak bagi petani kecil (Gereffi dan Christian, 2010).
2) Value Chain
Penelitian dengan analisis value chain dilakukan pada suatu rantai nilai produk. Rantai nilai merupakan merupakan rangkaian aktivitas yang saling terkait satu sama lain dalam suatu sistem (Porter, 1985). Aktivitas yang terjadi dalam sistem rantai nilai berawal dari bahan baku hingga purnajual (Baihaqi, Hamid, & Yulianda, 2014). Aktivitas tersebut meliputi kegiatan usaha seperti sistem produksi, perdagangan, perakitan, pengolahan, dan lain-lain (ACIAR, 2012).
Aktivitas dalam rantai nilai dibedakan menjadi dua, yaitu aktivitas primer dan aktivitas pendukung (Hitt, Michael, Ireland, & Robert, 2005). Aktivitas primer merupakan segala kegiatan yang berhubungan dengan produk yang meliputi input, proses, output, pemasaran dan penjualan, serta jasa pelayanan. Sedangkan aktivitas pendukung merupakan segala kegiatan yang mendukung terjadinya aktivitas primer yang meliputi koordinasi administratif dan layanan pendukung, manajemen sumberdaya manusia, pengembangan teknologi, dan perolehan sumberdaya.
Analisis rantai nilai merupakan pendektan yang digunakan untuk menambah aktivitas dan memaksimalkan nilai produk dalam suatu rantai nilai (Stringer, 2009). Selain itu, analisis rantai nilai dapat digunakan pula untuk mengetahui distribusi keuntungan suatu komoditas dalam suatu rantai nilai, hal ini dapat membantu dalam penentuan kebijakan yang sesuai agar para aktor dan lembaga yang terkait dapat memiliki keuntungan yang lebih baik dan membantu dalam memperbaiki rantai nilai usaha tani (Mardian, Kusrini, & Maswadi, 2013). Analisis rantai nilai dalam sektor pertanian memiliki 4 aspek penting (Kaplinsky & Morris, 2001), pertama dapat memetakan para aktor yang terlibat dalam proses produksi, distribusi, pemasara, dan penjualan produk secara sistematis. Kedua, dapat mengidentifikasi manfaat yang diperoleh para aktor maupun lembaga yang terlibat dalam rantai nilai. Ketiga, dapat mengkaji guna penguatan (upgrading) komoditas dalam rantai nilai dan terakhir dapat mengidentifikasi tata kelola yang bersifat internal maupun eksternal dalam rantai nilai.
3) Nilai Tambah
Penambahan nilai produk terjadi pada sepanjang rantai pasok dalam suatu sistem rantai nilai (Judi, Baihaqi, & Prasetyawan, 2014).
B. Penelitian Terdahulu
Penelitian Robert N. Gwynne (2008) dengan judul UK Retail, Chilean Wine Producers and Value Chain. Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan spasial antar ruang produser anggur di Chili dan ruang konsumen anggur di UK yang membentuk suatu saluran perdagangan yang saling ketergantungan satu sama lain. Adanya sistem dunia yang menghubungkan ruang produser dan ruang konsumen memberi keuntungan bagi perusahaan anggur di Chili seperti menghasilkan teknologi dan pengetahuan terapan mengenai anggur. Hal tersebut didapat karena perusahaan negara berkembangseperti perusahaan anggur di Chili berorientasi pada ekspor agro-industri dengan berdasarkan penambahan nilai pada sumberdaya, ekonomi berkelanjutan dalam jangka panjang, dan lintasan peningkatan teknologi. Perusahaan anggur Chili sebaiknya menerapkan sistem “network” dari pada “quasi-hierarchical” yang dinilai lebih menguntungkan seluruh aktor dalam saluran perdagangan dan dapat membantu dalam peningkatan kualitas dan konsistensi produk.
Akhmad Baihaqi dkk (2014) dengan judul Analisis Rantai Nilai dan Nilai Tambah Kakao Petani di Kecamatan Paya Bakong dan Geurudong Pase Kabupaten Aceh Utara. Penelitian ini mengidentifikasi rantai nilai kakao terjadi di Kabupaten Aceh Utara. Rantai nilai dapat terjadi diakibatkan adanya tindakan pascapanen atau panjangnya rantai nilai, sedangkan dalam penelitian ini disebutkan bahwa rantai nilai kakao di wilayah tersebut terjadi akibat adanya tindakan pasca panen. Selain itu, penelitian ini juga mengidentifikasi nilai tambah yang didapatkan oleh setiap aktor dalam saluran perdagangan. Hasilnya menunjukkan bahwa adanya perbedaan nilai tambah yang signifikan oleh petani kakao dan koperasi yang memiliki nilai tambah cenderung rendah dibandingkan aktor lainnya sehingga perlu adanya pengembangan kemitraan agar meningkatkan nilai tambah petani dan kesinambungan hulu—hilir agar mampu meningkatkan nilai tambah ekonomidan rantai nilai tersebut.
C. Kerangka Pemikiran
Gambar 3. Kerangka Pemikiran
5. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang akan digunakan yaitu metode sequential exploratory design. Metode ini diawali dengan pendekatan kualitatif terlebih dahulu guna membangun data-data kuantitatif. Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini berfungsi untuk mengetahui informasi mengenai kondisi perkebunan mete di Kabupaten Gunungkidul meliputi lokasi sentra mete, kondisi petani, serta informasi mengenai permasalahan dan potensi komoditas mete. Sedangkan, pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengetahui pola saluran perdagangan dalam rantai nilai komoditas mete di Kabupaten Gunungkidul dan juga aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Selain itu, pendekatan tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk mengetahui ada tidaknya proses pengolahan pada tingkatan pelaku usaha yang akan berdampak pada nilai tambah ekonomi mete.
Penentuan daerah penelitian memanfaatkan purposive method, yaitu penentuan lokasi yang dilakukan secara sengaja. Penelitian akan dilaksanakan di Kabupaten Gunungkidul dengan memilih 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Ngawen, Kecamatan Semin, Kecamatan Karangmojo, dan Kecamatan Semanu. Kecamatan-kecamatan tersebut dipilih karena memiliki tingkat produktivitas jambu mete tertinggi di Kabupaten Gunungkidul. Selain itu, lokasi-lokasi tersebut juga telah menjadi kawasan sentra mete di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Penelitian ini akan menggunakan dua sumber data yaitu primer dan sekunder. Sumber data primer didapatkan dengan melakukan wawancara kepada aktor-aktor rantai nilai dalam saluran perdagangan mete di Kabupaten Gunungkidul. Untuk mengetahui aktor dalam saluran perdagangan mete dapat dirunut dari aktor tingkatan pertama yaitu petani mete untuk mengetahui siapakah aktor tingkatan berikutnya dan terus berlanjut hingga produk mencapai ke tangan konsumen. Jenis data yang dihasilkan dari sumber data primer yaitu data kuantitatif dan kualitatif. Data-data kuantitatif tersebut meliputi, biaya produksi, volume produksi, harga jual mete, pola rantai nilai, aktor rantai nilai, dan nilai tambah ekonomi setiap aktor, sedangkan data-data kualitatif meliputi dokumentasi.
Sumber data sekunder didapatkan melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY dan Badan Pusat Statistik (BPS). Data-data sekunder berfungsi memperkuat data-data primer. Jenis data yang digunakan yaitu data kuantitatif yang meliputi data volume produksi mete dan jumlah penduduk petani.
Subjek yang menjadi populasi penelitian yaitu petani mete di Kabupaten Gunungkidul dan aktor serta lembaga yang terlibat dalam saluran perdagangan mete, namun karena adanya keterbatasan waktu, dana, dan tenaga maka diambil sampel yang dianggap mampu mewakili populasi. Penentuan sampel petani mete di Kabupaten Gunungkidul menggunakan teknik multistage random sampling. Pertama, dipilih lokasi penelitian pada beberapa kecamatan yang telah ditentukan sebelumnya yaitu Kecamatan Ngawen, Kecamatan Semin, Kecamatan Karangmojo, dan Kecamatan Semanu. Penetapan lokasi tersebut didasarkan tingginya produksi mete di Kabupaten Gunungkidul dan telah menjadi kawasan sentra yang ditetapkan dalam SK Dirjen Perkebunan No. 56/KB.820/SK/DJ.BUN/06/1996.
Tahap kedua, menghitung besarnya jumlah sampel petani mete yang ada di Kabupaten Gunungkidul. Sampel petani mete diwakili oleh petani-petani mete di 4 kecamatan yang telah ditentukan. Sampel petani mete dibagi menjadi 4 kecamatan secara proporsional berdasarkan jumlah petani mete. Sampel di 4 kecamatan tersebut dihapkan mampu merepresentasikan kondisi petani mete di Kabupaten Gunungkidul.
Tahap ketiga, pengambilan sampel di masing-masing desa memanfaatkan random sampling. Diasumsikan bahwa seluruh petani mete bersifat homogen dan memiliki probabilitas yang sama. Daftar nama petani mete di kecamatan-kecamatan tersebut diberi penomoran dan diambil secara acak tanpa pengembalian.
Pengambilan sampel untuk aktor atau lembaga lain yang terlibat memanfaatkan snowball sampling. Hal tersebut disebabkan populasi dari aktor dan lembaga tersebut menyebar dan tidak dapat diketahui sehingga sampel yang terpilih dalam saluran pemasaran akan disesuaikan dengan pola perdagangan yang terjadi di lokasi penelitian. Pengumpulan sampel diawali dengan kelompok terkecil lalu kelompok tersebut diminta untuk menunjuk responden berikutnya sesuai aktor yang dibutuhkan sehingga jumlahnya akan berkembang. Pengambilan sampel terhenti jika informasi sudah dirasa jenuh atau homogen.