A. Pendahuluan
Sebagian sarjana berpendapat bahwa agama adalah sumber konflik dan ektrimisme atau setidaknya melegitimasi berbagai konflik atau tindakan extrem, sementara sebagian lainnya berkesimpulan bahwa agama tidak mungkin melegitimasi konflik atau tindakan extrem karena agama mengandung nilai-nilai yang penuh dengan kedamaian.
Menurut Karen Amstrong, Fundamentalisme agama yang menyebabkan munculnya gerakan-gerakan radikal dan ektrem yang berpotensi melahirkan konflik dalam setiap agama samawi, Yahudi, Kristen dan Islam.
Menurut Khaled Abou al-Fadl, sebenarnya tidak ada agama yang mengajarkan untuk berkonflik, hanya saja munculnya berbagai fenomena konflik yang berlabel agama disebabkan oleh penafsiran yang tidak tepat terhadap agama itu sendiri, dengan demikian kekerasan atas nama agama adalah bentuk misinterpretasi.
B. Pengertian-Pengertian
Menurut Ernest Gellner, Istilah fundamentalisme baik dalam Islam maupun dalam agama lain memiliki kesamaan makna yaitu kembali ke fundament dasar-dasar agama secara total dan tekstual yang tidak mengenal kompromi dan reinterpretasi. Fundamentalisme agama yang dimaksud oleh Gelner adalah bentuk karakter pemikiran yang rigid dan inklusif, yang pada akhirnya menyakini sesuatu berdasarkan pemahaman yang skriptualias dan menjadi sebuah kebenaran dan dogma.
Sedangkan Barry Rubin dalam Islamic Fundamentalism in Egyptian Politic menyebutkan bahwa makna fundamenentalisme yang kerap dipakai untuk mengklaim sebuah pemikiran fundamentalisme adalah pandangan Sayyid Qutb yang mengatakan bahwa fundamentalisme adalah segala macam urusan duniawi dan ukhrawi, baik kehidupan agama, sosial dan politik harus sepenuhnya diatur oleh Islam.
Adapu Hasan Hanafi mengatakan bahwa fundamentalisme merupakan ideologi yang pada dasarnya memainkan peran motivatif dalam mendorong militansi dan radikalisai beragama. Perjuangan fundamentalisme Islam adalah untuk mewujudkan pemberlakuan syariat Islam yang dianggap sebagai solusi terhadap persoalan umat Islam dan bangsa. Kaum fundamentalis melihat bahwa implementasi ajaran Islam secara kaffah dengan pendekatan tafsir literalis terhadap al-Quran akan memberikan implikasi positif terhadap maslahat umat.
Berdasarkan pemahaman Hanafi di atas, ciri-ciri dari pemikiran kaum fundamentalis adalah lebih suka melakukan interpretasi tekstual terhadap teks-teks agama dan menolak pemahaman kontekstual, karena hal tersebut dianggap bisa mereduksi kesucian agama. Kaum fundamentalis mengklaim kebenaran tunggal. Menurut mereka, kebenaran hanya ada di dalam teks, dan tidak ada kebenaran di luar teks, bahkan kebenaran hanya ada pada pemahaman mereka terhadap apa yang dianggap sebagai prinsip-prinsip agama. Mereka tidak memberi ruang kepada pemahaman dan penafsiran lain selain mereka. Sikap yang demikian adalah sebuah sikap yang eksklusif dalam memahami ajaran agama.
Sikap keagamaan seperti ini berpotensi untuk melahirkan radikalisasi dan ekstrimisme. Dengan mengatasnamakan agama dan membela Islam, tidak menutup kemungkinan akan berimplikasi pada tindakan kekerasan, pengrusakan, penganiayaan, ataupun bentuk permusuhan, pengkafiran dan pemurtadan pada kelompok lain yang tidak sejalan. Maka pertanyaan selanjutnya yang harus terjawab dalam pembahasan ini adalah apakah Wahabi termasuk kelompok fundamentalis?
Daniel Ungureanu menyebutkan bahwa kemunculan Wahhabi adalah refresentasi dari ideologi fundamentalis yang dicirikan dengan slogan ‘kembali ke sumber utama agama yaitu al-Quran dan Sunnah’, sebagai antitesis atas doktrin kemazhaban dalam tradisi Sunni.
Islam fundamentalis sebagaimana disebutkan Sami Zubaida adalah sebuah pandangan yang memiliki dorongan kuat untuk mendirikan negara Islam sebagai upaya untuk mengimplementasikan ajaran Islam secara holistik. Interpretasi terhadap upaya mengamalkan ajaran Islam selalu diarahkan ke arah formalistik, konsep Islam selalu dijadikan sebagai referensi dalam membangun kerangka politik.
Merujuk pada kajian berbagai pakar, fundamentalisme agama sebenarnya sangat berpotensi memicu konflik. Jeffrey Haynes mengakui bahwa agama bisa menjadi sumber konflik. Bahkan mayoritas konflik di dunia ini, masalah sentralnya adalah persoalan agama, terutama kelompok-kelompok yang mempuyai pemahaman totalitarianisme terhadap agama. Akan tetapi menurut dia, di samping sebagai sumber konflik, agama juga mempunyai peran besar untuk mengatasi konflik (konflict resolution) karena pemahaman destruktif terhadap ajaran-ajaran agama mempunyai penawar yaitu pemahaman agama yang konstruktif dan menganjurkan perdamaian.
C. Paradigma
Menurut kazemzadeh (Teaching the Politics of Islamic Fundamentalism,1998) setidaknya ada tiga paradigma yang digunakan para peneliti dalam mengkaji fundamentalisme Islam: 1. Islamic Exceptionalism 2. Comparative Fundmenentalism 3. Class Analysis.
1. Islamic Exceptionalism
Sarjana penganut paradigma ini berkeyakinan bahwa teori-teori barat tidak dapat diterapkan untuk mengkaji fundamentalisme Islam karena hal ini khas milik dunia Islam
John Esposito adalah orang yang tepat merepresentasikan golongan ini, ia menghindari menggunakan terma fundamentalis sebagai gantinya ia menggunakan istilah ‘islamis’ atau ‘Islam Politik’.
Pendukung paradigma ini memandang bahwa permusuhan terhadap barat tidak melekat pada setiap faksi gerakan fundamentalisme Islam oleh karena itu, perlu dibedakan antara yang toleran dan yang miitan.
2. Comparative Fundmenentalism
Sarjana yang menganut paradigma ini berpandangan bahwa fundamentalisme Islam adalah bagian dari fenomena besar fundamentalisme lainnya.
Sarjana pendukung paradigma ini menggunakan teori-teori ilmiah sosial untuk membandingkan dan membedakan antara kelompok-kelompok fundamentalisme agama.
Marty adalah refresentasi paradigma ini, ia memandang gerakan kanan keagamaan ini menghambat proses demokrasi, kebebasan sipil, hak-hak perempuan dan kehidupan ilmiah.
3. Class Analysis
Sarjana penganut paradigma ini memandang fundamentalisme Islam sebagai gerakan politik diantara kelas-kelas sosial tertentu untuk menggapai kekuasaan politik.
Sarjana pendukung paradigma ini mengunakan perjuangan kelas sebagai faktor penjelas utama munculnya fundamentalisme Islam
Sami Subaedah adalah representasi dari paradigma ini, ia memandang bahwa lahirnya fundamentalisme Islam disebabkan oleh dua faktor: pertama, krisis sosial dan ekonomi, kedua: terjadinya perubahan dalam patriarkial sistem, Fundamentalisme Islam berusaha menata kembali kehidupan sosial dan tatanan moral dengan didasarkan pada aturan Islam yang rigid.
D. Teori-teori
Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan tentang munculnya gerakan Fundamentalisme Islam: 1. Crisis Thesis 2. Cultural Duality Theory 3. Sosial Movement
1. Crisis Thesis
Crisis thesis adalah teori yang melihat bahwa munculnya fundamentalisme Islam diakibatkan oleh krisis yang terjadi baik ekonomi, sosial, politik yang berintraksi dengan semangat ke-Islaman.
Deeb misalnya melihat faktor munculnya fundamentalisme Islam Timur Tengah karena 5 faktor: 1. stagnasi politik, 2. stagnasi ekonomi, 3. memburuknya keamanan, 4. penetrasi budaya barat, 5. sekulerisasi.
2. Cultural Duality Theory
Teori ini melihat munculnya gerakan fundamentalisme Islam akibat dari adanya konfrontasi dua kekuatan besar, dimana yang satu merasa terancam kehilangan hak-hak istimewanya.
Hal ini bisa terlihat pada munculnya gerakan revolusi Iran
3. Sosial Movement
Teori ini melihat munculnya fundamentalisme Islam adalah sebagai perlawanan dan ideologi rival bagi modernitas.
Perlawanan fundamentalisme Islam di sini lebih bersifat gerakan kultural
E. Penererapan Metodologi
Hukum Islam tidak hanya termuat dalam satu atau beberapa kitab saja. Hukum Islam dijumpai dalam bahan berjilid-jilid yang sangat banyak jumlahnya dan mendokumentasikan putusan dan opini para ahli hukum dalam rentang waktu berabad-abad. Di kalangan sunni ada empat mazhab pemikiran yang dominan Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Di kalangan syiah ada dua mazhab fiqih yang dominan, Ja’fari, dan Zaidi.
Bahkan dalam sejarah Hukum Islam, tercatat pernah ada 130 mazhab pemikiran hukum, namun kebanyakan telah punah karena beragam alasan. Dengan kata lain, hukum Islam tidak hanya terrepresentasikan oleh mazhab yang masih bertahan dan dominan saat ini.
Aliran fundamentalis menggunakan mazhab Hanbali sebagai mazhab yang dipandang menyediakan sistem hukum yang valid dan benar. Namun kenyataannya aliran fundamentalis secara selektif memilih para ahli hukum Hanbali tertentu saja, seperti Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, dan memperlakukan pandangan para ahli hukum ini sebagai sesuatu yang sudah tetap dan tidak dipertanyakan. Aliran fundamentalis, tidak pernah mengutip atau merujuk kepada ahli hukum mazhab Hanbali yang lain seperti Ibnu Aqil, Ibnu Qudamah atau Najm al-Din al-Thufi yang sangat terkenal dengan pendekatan rasionalnya.
Ijtihad orang-orang Wahabi hanya berputar di perkara-perkara yang partikular. Mereka berijtihad dalam soal-soal kecil seperti tentang hukum perempuan menyetir mobil, hukum memelihara jenggot, hukum ziarah kubur, hukum bertawassul, hukum menggunakan tasbih dalam berdzikir. Ulama Wahabi menganggap bahwa ziarah kubur, bercelana di atas tumit, dan bertawassul adalah masalah yang penting. Padahal persoalan seperti ini masuk ke dalam kategori masa’il khilafiyah yang tak akan pernah berhasil disepakati oleh seluruh umat Islam.
Menyangkut validitas pengunaan metode analisis rasional dalam mengartikulasikan hukum. Orang-orang Salafi cenderung menyikapi Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sekumpulan hukum yang memiliki aturan detail mengenai pernikahan, perceraian, warisan, atau hukum atas pelaku kriminal, mereka menjalankan putusan-putusan ini tanpa pertimbangan lingkungan historis pada saat wahyu itu diturunkan, dan tidak mencoba menganalisis petunjuk moral dan etika dalam putusan-putusan hukum tersebut.
Khaled Abou el-Fadl : Aliran puritan mengambil mazhab Hanbali sebagai rujukan pemikiran hukum, sedangkan mazhab pemikiran Hanbali secara umum adalah mazhab terkaku dan paling konservatif dalam jurisprudensi Islam. Hal ini dikarenakan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam pemikiran hukum bercorak literalis. Karena kecenderungannya yang kaku dan tidak lentur inilah, pada abad ke-19 mazhab Hanbali nyaris berada di ambang kepunahan. Akan tetapi kemunculan Arab Saudi yang secara selektif menganut mazhab Hanbali kemudian secara mendasar mengubah nasib Mazhab Hanbali menjadi ideologi pilihan bagi semua gerakan fundamentalis di dunia muslim Sunni. (The Great Theft : Wrestling Islam From The Extremists, Khaled Abou el-Fadl, New York: Harper Collins Publishers, 2007)
Ali Gomaa, Kami mengamati banyak terdapat kesalahan pada pendapat, paradigma, prilaku, sikap dan rumusan hukum mayoritas mereka yang menamakan diri salafi itu. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa pemikiran mereka menimbulkan kekacauan dalam skala besar. Doktrin mereka menjadi beban yang sangat berat bagi kemajuan kaum muslimin. Baik dalam soal reformasi dakwah, hukum, maupun pengembangan lain yang dibutuhkan dunia Islam. Fanatisme yang mereka kembangkan mudah menjadi embrio bagi munculnya pemikiran ekstrim.(al-Mutasyaddidun: Manhajuhum wa Munaqasyatu Ahammi Qadhayahum. Kairo: Dar al-Muqattam, 2012 )
1. Natana J Delong-Bas, Wahhabi Islam; From Revival and Reform to Global Jihad. London: I.B. Tauris 2004.
2. Ali Gomoa, Al-Mutasyaddidun: Manhajuhum wa Munaqasyatu Ahammi Qadhayahum. Kairo: Dar al-Muqattam, 2011.
3. Khaled Abou el-Fadl, The Great Theft : Wrestling Islam From The Extremists. New York: Harper Collins Publishers, 2007.
4. Martin Van Burnissen (Ed), Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman Fudamentalisme. Jakarta: Mizan 2014.
Jika Atho Mudzhar membagi penelitian agama menjadi dua 1. penelitian keagamaan (religius research) 2. Penelitian agama (research on religion). Pelelitian keagamaan memusatkan perhatian pada gerakan keagamaan bukan aspek ajaran gama yang bersifat normatif, sedangkan penelitian agama terfokus pada materi agama sebagai doktrin yang menjadi objek pemikiran. (Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, 2002).
Maka studi ini akan menggunakan kedua model pendekatan ini.
Teori Louis Althusser tentang hubungan ideologi dengan sikap dan prilaku. Menanamkan sebuah ideologi dalam praktek kehidupan sosial politik adalah cara yang paling efektif untuk mempertahankan kekuasaan, ideologi banyak digunakan untuk melestarikan sebuah dominasi terhadap sebuah komunitas tertentu. (For Marx, Harmonsworth).
Teori Social Movement: Teori ini melihat munculnya gerakan fundamentalisme dalam Islam adalah sebagai perlawanan dan ideologi rival bagi modernitas. Perlawanan gerakan fundamentalisme Islam di sini lebih bersifat gerakan kultural-keagamaan.
Sumber Primer: Buku-buku dan Kumpulan Fatawa Ulama-ulama Salafi Wahhabi seperti Fatawa Muhammad Ibn Abdul al-Wahhab, Abdullah Ibn Baz, Syekh Utsaimin, Syekh al-Bani, Syekh Fauzan, Syekh Robi dll
Sumber Sekunder : Buku-buku ajar fiqih di Universitas yang berafiliasi ke aliran Salafi Wahabi seperti Islamic University of Imam Muhammad ibn Saud di Riyadh; Islamic University of Medina di Madina; Ummul Qura University di Mekka; dan Punjab University di Lahore.
Cara membacanya: menggunakan ‘teknik studi kepustakaan’, kemudian data yang didapatkan dibaca dengan ‘analisis wacana kritis’.
F. Penutup