Menyusun rencana pada sebuah perusahaan merupakan langkah awal dalam memulai aktivitas dalam satu periode tertentu. Perencanaan merupakan ‘kompas’ yang akan memandu perusahaan dalam mencapai apa yang menjadi tujuannya. Dalam prakteknya, perencanaan yang dimaksud dituangkan dalam sebuah dokumentasi yang dikenal dengan perencanaan stratejik (strategic planning). Bryson dan Alston (2005) menjelaskan perencanaan strategis merupakan suatu sistem dimana para manajer membuat, melaksanakan, dan mengendalikan keputusan yang lintas fungsi dan tingkat dalam perusahaan. Lebih lanjut Bryson dan Alston (2005) menjelaskan perencanaan strategis yang dibuat setidaknya menangani empat persoalan penting, yaitu: (1) kemana kita akan pergi, hal ini berkaitan dengan penentuan misi, (2) bagaimana kita pergi kesana?, berkaitan dengan penentuan strategi, (3) apa cetak biru tindakan kita?, berkaitan dengan penetapan anggaran, dan (4) bagaimana kita tahu jika kita berada di dalam jalur ? yang berkaitan dengan pengendalian.
Pendapat yang dinyatakan oleh Bryson di atas, dapat dimaknai bahwa penyusunan perencanaan stratejik merupakan perencanaan yang komprehensif yang harus berorientasi pada ketentuan dalam penyusunannya secara spesifik (specific), terukur (measurable), mudah dilaksanakan (achievable), relevan (relevant), dan memiliki batas waktu (time bound). Selain memperhatikan prinsip tersebut, perencanaan harus disusun secara sistematis yakni setiap kegiatan yang direncanakan disusun berdasarkan urutan ‘ urutan yang menunjukkan tingkat kepentingan yang menggambarkan upaya untuk pencapaian tujuan.
Mengacu kepada sistematika dalam perencanaan stratejik, keseluruhan program dan kegiatan yang disusun tertuang dalam bentuk anggaran (budget). Anggaran didefinisikan sebagai ekspresi perencanaan, tujuan dan sasaran manajemen secara formal yang mencakup semua aspek operasi yang dirancang pada periode tertentu yang diekspreksikan secara kuantitatif dalam bentuk nilai mata uang, unit, jam, satuan tenaga kerja, dan lain sebagainya (Donnelly & Bob Foley 2003; Kemp & Eric Dunbar 2003; Shim & Siegel 2005). Anggaran tidak hanya sekedar perencanaan saja, akan tetapi anggaran berfungsi sebagai ukuran untuk menilai kinerja manajerial pada akhir periode (Shim & Siegel 2005; Walther & Skousen 2010). Dengan demikian para ahli manajemen menyimpulkan keberhasilan perusahaan dalam mencapai kinerjanya ditentukan oleh kualitas anggaran. Alasan mendasar dari pendapat ini tidaklah keliru, sebab pada dasarnya anggaran merupakan bentuk dari perencanaan kinerja. Mengingat anggaran ini sangat berkaitan erat dengan pencapaian kinerja, dalam organisasi pemerintahan anggaran mengalami penambahan istilah yang dikaitkan dengan kinerja yang dikenal dengan anggaran berbasis kinerja.
Kinerja perusahaan merupakan refleksi atas pencapaian keberhasilan perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya selama periode tertentu. Baik buruknya capaian kinerja menunjukkan historis perilaku perusahaan (stewardship) dalam menggunakan berbagai sumber daya yang diberikan investor. Oleh karenanya pencapaian kinerja dalam konteks teori keagenan (agency theory) seringkali menjadi pusat perhatian investor dan manajemen dalam menilai keberhasilan perusahaan di masa lalu dan sekaligus untuk memperkirakan pencapaian keberhasilannya di masa yang akan datang. Tidak hanya itu, pencapaian kinerja bagi manajemen juga sering digunakan sebagai cara untuk menilai seseorang yang bertanggung jawab terhadap anggaran itu sendiri yakni manajer.
Menurut sejumlah peneliti seperti Frucot dan Shearon (1991); Chong dan Chong (2002); Yuen (2007); Chong dan Johnson (2007); Yahya, dkk (2008); Venkantesh dan Blaskovich (2012); Mah dkk (2013) kinerja manajer merupakan indikator yang merefleksikan kinerja perusahaan. Dengan kata lain baik buruknya kinerja manajer akan berimplikasi pada pencapaian kinerja perusahaan baik yang diukur dengan pendekatan keuangan maupun non keuangan.
Penelitian terhadap kinerja manajerial, sampai saat ini masih merupakan penelitian yang memberikan daya tarik. Hal ini dikarenakan penelitian tentang kinerja manajerial syarat dengan faktor perilaku manajer secara individual pada perusahaan (Cheng 2012). Sampai sejauhmana keterlibatan para manajer pada berbagai tingkatan dalam penyusunan anggaran, tentunya akan memiliki implikasi kepada kinerjanya dalam melaksanakan anggaran. Hal yang demikian disebut partisipasi penganggaran (budgetary participation) (Shim dan Siegel 2005) .
Hasil ‘ hasil penelitian tentang partisipasi anggaran dan kinerja manajerial masih menunjukkan perbedaan, sejumlah peneliti ada yang menemukan partisipasi anggaran memiliki pengaruh terhadap kinerja manajerial, dan sebaliknya. Hasil yang tidak konsisten mendorong para peneliti menggunakan penjelasan dari sudut pandang teori kontinjensi bahwa hubungan partisipasi anggaran dan kinerja manajerial mungkin tergantung pada faktor-faktor moderating maupun mediating. Brownell dan McInnes (1983) mengelompokkan empat kelas variabel yang mempengaruhi hubungan partisipasi anggaran dan kinerja manajerial yakni: budaya (kultur), organisasi, interpersonal, dan individual. Sedangkan menurut Frucot dan Shearon (1991) faktor-faktor moderating yang telah diuji dapat dikelompokkan dalam variabel macro level seperti struktur organisasi dan teknologi dan variabel micro level seperti gaya kepemimpinan dan personality individu.
Penelitian yang dilakukan oleh Brownell dan McInnes (1983) maupun Frucot dan Shearon (1991), telah memberikan inspirasi bagi peneliti lainnya yang mencoba untuk menempatkan variabel antara maupun moderasi dalam rangka memperoleh penjelasan mengenai hubungan antara partisipasi anggaran dan kinerja manajerial. Berikut ini disajikan rangkuman hasil penelitian mengenai partisipasi anggaran dan kinerja manajerial maupun yang melibatkan variabel antara maupun moderasi:
Tabel 1.1
Kesenjangan Hasil Riset Terdahulu
Kesenjangan
Hasil Penelitian Temuan Peneliti
Terdapat Perbedaan Hasil Penelitian Mengenai Pengaruh Partisipasi Anggaran terhadap Kinerja Manajerial Baik Secara Langsung maupun Tidak Langsung
1. Partisipasi penganggaran memiliki pengaruh terhadap kinerja manajerial melalui variabel komitmen organisasi.
2. Partisipasi penganggaran tidak memiliki pengaruh terhadap kinerja manajerial melalui variabel persepsi tentang inovasi. Yahya, dkk. (2008)
1. Partisipasi penganggaran memiliki pengaruh terhadap kinerja manajerial melalui variabel job relevant information maupun job satisfaction.
2. Partisipasi penganggaran tidak memiliki pengaruh terhadap kinerja manajerial. Leach Lopez, dkk (2009)
1. Partisipasi penganggaran memiliki pengaruh terhadap kinerja manajerial yang diperkuat oleh variabel pengetahuan manajemen biaya.
2. Partisipasi penganggaran tidak memiliki pengaruh terhadap kinerja manajerial. Gandasuli, dkk (2009)
3. Partisipasi penganggaran memiliki pengaruh terhadap kinerja manajerial melalui variabel self-efficacy, trust in superior, organizational commitment, dan job satisfaction. Ni, dkk (2009)
1. Partisipasi penganggaran memiliki pengaruh terhadap kinerja manajerial. Wong-On-Wing (2010)
1. Partisipasi penganggaran memiliki pengaruh terhadap kinerja manajerial melalui variabel komitmen penganggaran (budgetary commitment)
2. Partisipasi penganggaran tidak memiliki pengaruh terhadap kinerja manajerial. Breaux, dkk (2011)
1. Partisipasi penganggaran memiliki pengaruh terhadap kinerja manajerial melalui variabel procedural fairness dan komitmen organisasi.
2. Partisipasi penganggaran tidak memiliki pengaruh terhadap kinerja manajerial. Ogiedu dan Odia (2011)
1. Partisipasi penganggaran memiliki pengaruh terhadap kinerja manajerial melalui variabel broad scope of management accounting system. Cheng (2012)
1. Partisipasi penganggaran memiliki pengaruh terhadap kinerja manajerial melalui variabel psychological capital.
2. Partisipasi penganggaran tidak memiliki pengaruh terhadap kinerja manajerial. Venkantesh dan Blaskovich (2012)
1. Partisipasi penganggaran memiliki pengaruh terhadap kinerja manajerial. Mah, dkk. (2013)
Sumber : Berbagai sumber untuk dikembangkan dalam disertasi ini.
Tabel di atas menunjukkan keragaman hasil penelitian mengenai partisipasi anggaran terhadap kinerja manajerial. Keragaman yang dimaksud adalah melalui penambahan variabel antara maupun moderasi. Keberagaman variabel antara maupun moderasi yang digagas oleh para peneliti berdasarkan konsep yang menjadi landasan berpikirnya merupakan upaya untuk memperoleh jawaban secara empiris mengenai interaksi antara partisipasi anggaran dengan kinerja manajerial dalam konteks pengaruh secara tidak langsung maupun melalui pelibatan faktor yang memperkuat ataupun memperlemah interaksi partisipasi penganggaran terhadap kinerja manajerial. Namun walau demikian, menyimak tabel di atas ada pula peneliti yang hanya mengkaji interaksi partisipasi anggaran terhadap kinerja manajerial tanpa melibatkan variabel antara maupun moderasi dengan hasil yang berbeda dengan mereka yang menggunakan variabel antara dan atau moderasi.
Pada bagian lain keberagaman cara berpikir para peneliti dengan keberagaman variabel antara maupun moderasi pada dasarnya menunjukkan bahwa interaksi partisipasi anggaran terhadap kinerja manajerial dapat dijelaskan oleh banyak faktor seperti yang diungkapkan oleh Brownell dan McInnes (1983) maupun Frucot dan Shearon (1991). Apapun nama variabel antara maupun moderasi yang digunakan oleh peneliti pada dasarnya tetap menggunakan landasan ilmu psikologi dalam menjelaskan perilaku manajer yang dikaitkan dengan masalah partisipasi anggaran dan kinerja manajerial.
Motivasi lain yang mendorong peneliti untuk mengkaji interaksi partisipasi penganggaran terhadap kinerja manajerial adalah didasarkan kepada fakta bisnis yang berkenaan dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Sebagaimana kita ketahui BPR merupakan salah satu lembaga keuangan yang cukup familiar bagi UMK. Sesuai Undang-undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 tahun 1998, BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syari’ah. Usaha BPR meliputi menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; memberikan kredit; menyediakan pembinaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip konvensional maupun syari’ah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia, deposito berjangka, sertifikat deposito dan tabungan pada bank lain.
BPR mempunyai kegiatan usaha yang lebih terbatas dibandingkan dengan Bank Umum. Beberapa aktivitas yang dapat dilakukan oleh Bank Umum, namun tidak boleh dilakukan oleh BPR antara lain: menghimpun dana dalam bentuk simpanan giro, terlibat dalam lalu lintas pembayaran, memperjualbelikan valuta asing, dan melakukan penyertaan modal. Walaupun adanya keterbatasan aktivitas bisnis tidak seperti halnya bank yang berskala besar, tetap saja keberadaan BPR diharapkan tetap eksis sebagai lembaga perbankan yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dana untuk pengembangan usahanya.
Seperti yang dirilis oleh Bank Indonesia, ternyata eksistensi BPR dari tahun ke tahunnya mengalami kemunduran. Dengan kata lain banyak BPR yang dinyatakan pailit dan ditutup, sementara itu ada pula yang di-merger dengan BPR lainnya. Bank Indonesia melaporkan sampai dengan Desember 2012 jumlah BPR Konvensional yang ada di seluruh Indonesia tercatat 1.653 unit, yang terdiri atas: BPR berbadan Hukum Perseroan Terbatas 1.388 unit; berbadan hukum Perusahaan Daerah 247 unit; dan Koperasi sebanyak 34 unit yang tersebar di 33 provinsi. Dibandingkan Oktober 2010, jumlah tersebut mengalami penyusutan sebanyak 37 unit, dimana jumlah keseluruhan BPR masih tercatat sebanyak 1.706 unit yang terdiri atas: BPR berbadan hukum PT. 1.384 unit; Perusahaan Daerah 272 unit; dan Koperasi sebanyak 34 unit. Perubahan BPR berdasarkan badan hukumnya selama lima tahun terakhir diilustrasikan pada tabel berikut ini:
Tabel 1.2
Perkembangan Jumlah BPR Konvensional
Tahun Jumlah
(Unit) Pertumbuhan (%)
2007 1.817 –
2008 1.771 -2.53
2009 1.733 -2.15
2010 1.706 -1.56
2011 1.669 -2.17
2012 1.653 -0.01
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (2013)
Menyusutnya jumlah BPR tersebut pada umumnya disebabkan oleh dua hal, yaitu penggabungan usaha (merger) dan pencabutan izin usaha oleh Bank Indonesia. Dicabutnya izin usaha BPR oleh BI biasanya disebabkan karena adanya tindakan fraud (penipuan, kecurangan, penggelapan) atau pemilik tidak mampu memenuhi persyaratan permodalan. Menurut Direktur Kredit, BPR dan UMKM Bank Indonesia (BI) Edy Setiadi, sampai dengan Mei 2012 terdapat 31 BPR yang melakukan merger atau konsolidasi dan 11 BPR yang dicabut izinnya usahanya. Dari sebelas BPR tersebut, 70% dicabut izin usahanya karena melakukan fraud, sisanya karena mis management. Fenomena ini bisa jadi mengindikasikan kinerja manajer BPR rata ‘ rata masih rendah.
Penutupan BPR ini selain berdampak pada pencitraan negatif terhadap industri BPR dan berpotensi menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap BPR, juga ternyata membebani Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Faktanya dari BPR yang ditutup lalu dijual hanya bisa menghasilkan recovery sekitar 7% dari biaya yang dikeluarkan LPS untuk mengganti dana nasabah. Selain terdapat BPR yang ditutup, sampai saat ini masih terdapat 138 BPR berstatus kurang sehat dan tidak sehat, sehingga harus berada dalam pengawasan khusus. Ada dua faktor yang menyebabkan bank mikro tersebut masuk kategori sakit, yakni faktor eksternal akibat persaingan dengan lembaga keuangan mikro dan bank umum, serta faktor internal seperti terbatasnya jumlah modal, kurang kompetennya sumberdaya manusia dan tata kelola yang baik.
Sebagaimana layaknya sebuah bank, BPR juga melakukan fungsi intermediasi, dengan jalan menghimpun dana masyarakat, untuk kemudian disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman/kredit. Baik dalam menghimpun maupun menyalurkan dana masyarakat tersebut, BPR harus bersaing, baik dengan sesama BPR maupun jenis bank lainnya, termasuk dengan Bank Umum, yang memiliki banyak keunggulan. Hal ini terjadi karena tidak adanya kebijakan yang mengatur segmen atau zonasi untuk pasar perbankan mikro dan umum yang memang tidak seimbang ini, dimana semakin maraknya bank umum, baik konvensional maupun syari’ah yang membuka unit kredit mikro.
Sistem persaingan yang cenderung tidak adil ini, mengakibatkan terbatasnya kemampuan BPR baik dalam menghimpun dana masyarakat maupun menyalurkannya kembali dalam bentuk pinjaman, terlebih jika dibandingkan dengan pencapaian bank umum, yang tampak sangat dominan. Meski berkecenderungan meningkat, selama tiga tahun terakhir (2010 sampai dengan 2012), kontribusi BPR dalam menghimpun dana masyarakat masih sangat kecil, dimana posisinya senantiasa jauh berada di bawah Bank Umum (Konvensional maupun Syari’ah). Pada tahun 2010, kontribusi BPR dalam penghimpunan dana masyarakat hanya mencapai 1,26%. Capaian ini mengalami sedikit peningkatan pada tahun 2011 menjadi 1,27%, dan kembali meningkat menjadi 1,3% pada tahun 2012, sebagaimana disampaikan pada tabel di bawah ini:
Tabel 1.3
Kinerja Penghimpunan Dana Pihak Ketiga Perbankan Indonesia
Periode Tahun 2010 ‘ 2012
(dalam Milyar Rupiah)
Jenis Bank 2010 2011 2012
Rp Proporsi Rp Proporsi Rp Proporsi
Bank Umum Konvensional 1.950.712 96,50% 2.338.824 95,54% 2.784.912 94,79%
Bank Umum Syari’ah 43.858 2,17% 76.602 3,13% 112.853 3,84%
BPR Konvensional 25.552 1,26% 31.042 1,27% 38.209 1,30%
BPR Syari’ah 1.251 0,06% 1.604 0,07% 2.095 0,07%
Total 2.021.373 100% 2.448.072 100% 2.938.069 100%
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (2013)
Sebagaimana halnya dalam penghimpunan dana masyarakat, dalam penyaluran dana kepada masyarakat pada periode 2010 sampai dengan 2012, Bank Umum Konvensional masih sangat dominan, dengan capaian rata-rata 95,8% per tahun. Berbeda dengan kontribusi BPR dalam penghimpunan dana masyarakat yang cenderung meningkat, kontribusi BPR dalam menyalurkan dana kepada masyarakat selama periode tersebut, justru cenderung mengalami penurunan. Dari keseluruhan dana yang disalurkan oleh perbankan pada tahun 2010 dan 2011, kontribusi BPR konvensional tercatat sebesar 1,52%. Pada tahun berikutnya, capaian ini turun menjadi 1,49%, sebagaimana diinformasikan pada tabel di bawah ini:
Tabel 1.4
Kinerja Penyaluran Dana Perbankan Indonesia Periode Tahun 2010 ‘ 2012
(Dalam Milyaran Rupiah)
Jenis Bank 2010 2011 2012
Rp (Miliar) Proporsi Rp (Miliar) Proporsi Rp (Miliar) Proporsi
Bank Umum Konvensional 2.282.179 96,43% 2.765.912 95,74% 3.412.463 95,26%
Bank Umum Syari’ah 46.386 1,96% 76.602 2,65% 112.853 3,15%
BPR Konvensional 36.076 1,52% 43.877 1,52% 53.534 1,49%
BPR Syari’ah 1.995 0,08% 2.586 0,09% 3.328 0,09%
Total 2.366.636 100% 2.888.977 100% 3.582.178 100%
Sumber : Otoritas Jasa Keuangan (2013)
Dilihat dari sisi kinerja keuangan, rata-rata BPR di Indonesia masih memiliki pencapaian kinerja yang kurang baik sebagaimana dijelaskan pada tabel berikut:
Tabel 1.5
Kinerja Keuangan BPR Periode Tahun 2010 ‘ 2012
(Dalam %)
Tahun LDR NPL ROA ROE
2010 79,02 6,12 3,16 26,71
2011 78,54 5,22 3,32 29,46
2012 78,63 4,98 3,46 32,63
Sumber : Otoritas Jasa Keuangan (2013)
Loan To Deposit Ratio (LDR) merupakan rasio antara jumlah kredit yang disalurkan dengan dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh BPR. Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, sebuah BPR dikatakan sehat jika rasio LDR berkisar antara 85% ‘ LDR ‘ 110%. Dengan demikian bila dilihat dari aspek LDR nampak bahwa rata ‘ rata BPR mencerminkan kinerja yang tidak baik atau dengan kata lain rata-rata BPR dinyatakan tidak sehat.
Indikator berikutnya adalah Non Performing Loan (NPL) yakni indikator yang menunjukkan perbandingan antara jumlah kredit bermasalah dengan jumlah kredit yang disalurkan. Semakin rendah rasio ini maka semakin baik kualitas asset suatu BPR.BI menetapkan pengelolaan asset BPR dinilai baik jika rasio NPL-nya kurang dari 5%. Menyimak nilai NPL dalam tiga tahun terakhir menunjukkan kinerja rata ‘ rata BPR yang tidak baik. Begitu juga dilihat dari sisi ROA dan ROE menunjukkan keberhasilan BPR dalam mengelola aset maupun modal sendiri menunjukkan tingkat pengembalian hasil atas aset dan modal sendiri masih relatif rendah. Simpulan yang dapat diperoleh dari fenomena bisnis BPR menunjukkan rendahnya kinerja BPR. Dalam konteks perbankan, rendahnya kinerja BPR ini mencerminkan lemahnya tata kelola BPR yang dinilai belum efektif dan tentunya hal ini berkaitan erat dengan kinerja manajerial.
Sebagaimana umumnya perusahaan, kinerja manajerial BPR pun sangat tergantung pada manajer yang bertanggung jawab secara operasional terhadap aktivitas bisnis BPR. Tugas seorang manajer tentunya tidak hanya sekedar menjalankan apa yang direncanakan atasannya, akan tetapi mulai dari merencanakan apa yang harus dilakukan bertalian dengan bidang yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Dengan demikian keterlibatan manajer dalam penyusunan anggaran dapat diduga menjadi salah satu faktor yang mencerminkan kinerja manajerial dalam tiga tahun terakhir seperti yang digambarkan dengan kinerja keuangan di atas.
Berdasarkan uraian di atas yang dilihat dari sudut pandang kesenjangan teori, kesenjangan hasil penelitian, dan fakta empiris yang terjadi pada BPR di Indonesia akhirnya menjadi sebuah fakta yang menarik untuk dikaji secara lebih jauh dalam sebuah penelitian yang berjudul : ‘Studi Terhadap Kreativitas Penganggaran dan Komitmen Tujuan Anggaran Dalam Memediasi Partisipasi Penganggaran dan Kinerja Manajerial’
1.1. Perumusan Masalah
Penelitian ini bertitik tolak dari adanya permasalahan dalam aspek kesenjangan hasil penelitian (research gap), dan fakta empiris tentang BPR di Indonesia. Berdasarkan pengelompokan berbagai permasalahan tersebut, berikut diberikan perumusan masalah pada masing ‘ masing aspek:
Pertama, pada tabel 1.1 menunjukkan penelitian tentang partisipasi anggaran terhadap kinerja manajerial merupakan penelitian yang dinilai menarik bagi para peneliti dalam rangka memperoleh jawaban secara teoritis mengenai hal tersebut dengan beragam penetapan variabel yang dinilai memberikan penjelasan secara lebih baik yang berkedudukan sebagai variabel antara maupun moderasi. Hasilnya pun beragam, sebagian peneliti menemukan bahwa partisipasi anggaran memiliki pengaruh terhadap kinerja manajerial dan sebagian peneliti menemukan hasil sebaliknya. Kedua, fakta empiris kinerja BPR dalam kurun waktu tahun 2010 ‘ 2012 menunjukkan perkembangan yang kurang baik dari sisi kinerja penerimaan dan penyaluran dana, serta kinerja keuangan sehingga perlu pengkajian terhadap faktor yang diduga memiliki dampak pada kinerja BPR terutama dari sisi manajer sebagai penanggung jawab operasional.
Sejalan dengan perumusan masalah tersebut, maka yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah partisipasi anggaran memiliki pengaruh terhadap kreativitas penganggaran ?
2. Apakah partisipasi anggaran memiliki pengaruh terhadap komitmen anggaran?
3. Apakah kreativitas penganggaran memiliki pengaruh terhadap komitmen anggaran?
4. Apakah kreativitas penganggaran memiliki pengaruh terhadap kinerja manajerial ?
5. Apakah komitmen anggaran memiliki pengaruh terhadap kinerja manajerial ?
1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.2.1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh jawaban secara empiris mengenai dampak dari partisipasi anggaran terhadap kinerja manajerial yang dimediasi oleh kreativitas penganggaran dan komitmen anggaran.
1.2.2. Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan memberikan manfaat secara teoritis maupun empiris. Secara teoritis penelitian ini diharapkan menjadi salah satu sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu manajemen keuangan yang berkenaan dengan perilaku dalam pengalokasian sumber daya keuangan. Sedangkan secara empiris penelitian ini diharapkan menjadi salah satu acuan bagi perusahaan dalam melaksanakan penyusunan anggaran dengan berpola pada keterlibatan secara aktif dari pihak ‘ pihak yang berkepentingan terhadap pelaksanaan tugasnya agar menghasilkan anggaran yang benar ‘ benar menjadi pedoman bagi perusahaan dalam meningkatkan kinerjanya.
1.3. Orisinalitas Penelitian
Para peneliti terdahulu mengkaji partisipasi anggaran dengan kinerja manajerial yang dilihat dari aspek komitmen organisasi, persepsi inovasi (Yahya, dkk. 2008; Breaux, dkk 2011), job relevant information dan job satisfaction (Leach Lopez, dkk 2009; Ni, dkk 2009), pengetahuan manajemen biaya (Gandasuli, dkk 2009; Cheng 2012), procedural fairness (Ogiedu dan Odia 2011), dan psychological capital (Venkantesh dan Blaskovich 2012), sedangkan dalam penelitian ini mengusulkan proposisi berupa kreativitas penganggaran yang menjembatani partisipasi anggaran dan kinerja manajerial. Dengan demikian orisinalitas penelitian ini terletak pada model teoritikal dasar (grand theoretical model).
Perbedaan kedua, penelitian ini dengan penelitian sebelum terletak pada aspek obyek penelitian, dimana penelitian sebagaimana diuraikan di atas lebih banyak fokus kepada perusahaan yang sudah go public sementara penelitian yang akan dilakukan fokus pada perbankan yang berskala kecil (micro banking). Alasan utama dari pemilihan BPR, pertama: memperoleh penjelasan mengenai konseptual yang selama ini dikembangkan dan terbukti secara empiris pada perusahaan berskala besar apakah akan berlaku sama pada BPR. Kedua: secara empiris peneliti sangat mengapresiasi kebijakan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan BPR sebagai salah satu solusi untuk mendorong roda perekonomian nasional, karena faktanya di Indonesia usaha mikro dan menengah dilihat dari sisi jumlah merupakan jenis usaha yang keberadaannya menjadi fundamental ekonomi nasional, sehingga alasan ini kiranya cukup kuat untuk mengkaji faktor ‘ faktor yang menjadi kekuatan bersaing antar lembaga perbankan baik antar bank berskala kecil maupun bank berskala besar.