Akhir-akhir ini, dunia dimarakkan oleh operasi pengubahan kelamin yang dilakukan oleh Bruce Jenner, ayah dari para saudari Kardashian. Seperti yang dilansir oleh The Washington Post, Bruce’yang sekarang resmi menjadi Caitlyn’mengaku bahwa selama masa mudanya ia memang mengidap gender dysphoria atau gangguan identitas gender. Meskipun mengalami kebingungan sebelumnya, Caitlyn mengatakan bahwa ia tidak pernah tertarik dengan pria dan bahwa dirinya adalah seorang aseksual Ia resmi mengganti namanya menjadi Caitlyn pada Juni 2015, setelah majalah Vanity dengan dirinya sebagai seorang wanita di sampulnya terbit menurut ulasan di majalah People.
Seperti Caitlyn Jenner diatas, di Indonesia juga tentunya terdapat banyak sekali orang-orang yang juga mengalami gender dysphoria. Bahkan ada beberapa tokoh terkenal yang terang-terangan mengubah gendernya, seperti aktris Dorce Gamalama dan Dena Rachman. Dorce Gamalama sendiri pernah menikah dengan seorang laki-laki, yang sebenarnya dianggap pernikahan sah antara wanita dengan lelaki jika pergantian gendernya diperhitungkan.
Sebenarnya masih banyak lagi orang-orang yang sebenarnya adalah bagian dari kaum LGBTQA; beberapa bergabung dengan gerakan pro LGBTQA di Indonesia dan menuai kontroversi dari berbagai kalangan, sedangkan sisanya berusaha hidup dibawah arus dengan ketakutan akan diskriminasi dari masyarakat jika ketahuan merupakan bagian dari kaum LGBTQA. Bahkan, para kalangan LGBTQA sering mengalami diskriminasi dari kaumnya sendiri, yang dapat dilihat dari bagaimana inisial Queer dan Aseksual dihapus dari LGBT. Padahal, mereka juga bagian yang sangat signifikan di kaum LGBTQA. Kurangnya pengetahuan masyarakat adalah faktor terbesar dari hal ini. Maka dari itu, perlu diadakannya sosialisasi mengenai LGBTQA bagi masyarakat Indonesia.
Makalah ini akan membahas seputar pengertian serta asal-usul dari istilah LGBTQA, mengungkapkan keberadaan komunitas LGBTQA di Indonesia, serta masalah-masalah yang dihadapi oleh komunitas LGBTQA di negara ini.
2. APA ITU LGBTQA?
LGTBQA adalah kepanjangan dari Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer/Questioning, dan Asexual. Inisial LGBT awalnya dimaksudkan untuk menekankan keragaman budaya berbasis identitas dari seksualitas dan gender seseorang, bahkan terkadang merujuk juga kepada siapa saja yang tidak termasuk dalam kategori heteroseksual maupun cisgender’orang yang mengidentifikasi gendernya sama dengan gendernya sejak lahir’dan tidak diberlakukan secara eksklusif hanya untuk orang-orang yang lesbian, gay, biseksual, atau transgender (Swain, 2007). Untuk mengenalinya, varian populer menambahkan huruf Q bagi mereka yang mengidentifikasi diri sendiri sebagai Queer atau mempertanyakan identitas seksual mereka sebagai LGBTQ.
Sempat terjadi perdebatan antara penggunaan inisial Q di LGBTQA sebagai ‘Queer’ atau ‘Questioning’. Namun demi alasan kejelasan, penulis akan menjelaskan mengenai keduanya.
Sementara itu, A dari LGBTQA itu sebenarnya dianggap sebagai Ally atau ‘teman’ dari kaum LGBTQ. Hal ini sempat mengundang kontroversi dari para social justice warrior di media sosial. Mereka menganggap bahwa tidak seharusnya ‘ally’ dimasukkan kedalam inisial LGBTQ karena ally sendiri bukan merupakan sebuah orientasi seksual maupun romantik, melainkan sekadar pendukung LGBTQA yang orientasinya heteroseksual.
Sementara para kaum aseksual merasa tidak punya tempat dimanapun karena mereka tidak dianggap sebagai orientasi seksual maupun romantik yang bukan bagian dari heterosexual maupun cisgender (Umphie, 2013). Dari situlah, muncul gerakan untuk mengganti Ally menjadi Asexual.
Komunitas gay sering dikaitkan dengan simbol-simbol tertentu, terutama pelangi atau bendera berwarna pelangi. Simbol lambda Yunani (“L” untuk pembebasan), segitiga, pita, dan simbol gender juga digunakan sebagai tanda pro-LGBT. Ada banyak jenis bendera untuk mewakili subdivisi dalam komunitas gay, tetapi yang paling umum dikenal adalah bendera pelangi. Menurut Gilbert Baker, pencipta bendera pelangi, setiap warna mewakili nilai di masyarakat; merah jambu untuk seksualitas, merah untuk kehidupan, oranye untuk penyembuhan, kuning untuk matahari, hijau untuk alam, pirus untuk seni, nila untuk harmoni, dan ungu untuk semangat (Symbols of Pride of the LGBTQ Community, n.d). Sementara, Lambda pertama kali dipilih sebagai simbol gay ketika digunakan pada tahun 1970 oleh grup aktivis LGBT New York Gay Alliance. Ini menjadi simbol gerakan pembebasan gay mereka. Pada tahun 1974, lambda itu kemudian digunakan oleh International Gay Rights Congress yang diadakan di Edinburgh, Skotlandia. Lambda akhirnya dikenal secara internasional sebagai simbol untuk perjuangan kaum gay.
Tidak ada yang memiliki jawaban pasti mengapa lambda awalnya dipilih sebagai simbol gay. Beberapa mengatakan bahwa lambda adalah huruf Yunani kecil dari ‘L’ yang berarti liberation atau kebebasan (ALGBTICAL, n.d).
3. APA DEFINISI DARI LESBIAN, GAY, BISEXUAL, TRANSGENDER, QUEER/QUESTIONING, DAN ASEXUAL?
Berikut pengertian dan asal usul dari Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer/Questioning, dan Asexual:
A. Lesbian
Kata Lesbian berasal dari nama pulau Yunani yaitu Lesbos, rumah dari penyair abad ke-6 SM bernama Sappho. Dari berbagai tulisan-tulisan kuno, sejarawan menyimpulkan bahwa Sappho menugaskan sekelompok perempuan untuk menjaga budaya mereka. Hanya sedikit puisi Sappho yang dapat ditemukan, tetapi puisi yang tersisa mencerminkan topik-topik yang ia tulis: kehidupan sehari-hari dari perempuan-perempuan tersebut, hubungan mereka, dan ritual yang mereka lakukan. Sappho memfokuskan puisi tersebut pada keindahan tubuh mereka dan menyatakan cintanya untuk sesama kaum perempuan (‘lesbian’, n.d).
Sekarang, kata ini didefinisikan sebagai kaum perempuan yang mempunyai ketertarikan seksual maupun romantik terhadap perempuan lainnya. Istilah ini juga digunakan untuk mengekspresikan identitas seksual atau perilaku seksual tanpa memandang orientasi seksual mereka, atau sebagai kata sifat untuk menggambarkan atau kata benda asosiasi dengan homoseksualitas (Committee on Lesbian Health Research Priorities, 1999).
B. Gay
Gay adalah istilah yang terutama mengacu pada orang homoseksual atau sifat yang mengarah pada homoseksualitas. Istilah ini awalnya digunakan untuk merujuk pada perasaan riang, bahagia, atau cerah dan mencolok.
Penggunaan istilah ini digunakan sebagai referensi untuk homoseksualitas sekitar akhir abad ke-19, namun penggunaannya meningkat secara bertahap di abad ke-20 (‘gay’, n.d).
C. Biseksual
Berada diantara spektrum gay dan lesbian, biseksual mengacu pada para individual yang mengalami ketertarikan secara seksual kepada kedua jenis kelamin konvensional, yaitu pria dan wanita (‘bisexual’, n.d).
Seperti yang diterangkan oleh American Psychological Association, orientasi seksual bukan merupakan sesuatu yang pasti. Mereka bisa saja heteroseksual ataupun homoseksual, namun bisa merasakan keduanya dengan taraf yang bervariasi. Orientasi seksual berkembang sepanjang masa hidup seseorang -orang-orang yang berbeda menyadari apakah mereka hetersoseksual, biseksual, atau homoseksual pada titik-titik berbeda dalam hidup mereka (American Psychological Association, 2009).
Biseksual memiliki benderanya tersendiri. Warna dari bendera tersebut yakni merah jambu dan biru yang bergradasi menjadi satu di tengah-tengah. Dikatakan, merah jambu melambangkan ketertarikan pada sesama jenis kelamin, sedangkan biru melambangkan ketertarikan berbeda jenis kelamin.
D. Transgender
Transgender adalah suatu sebutan bagi orang-orang yang merasa gender yang mereka dapatkan dari lahir tidak sesuai dengan diri mereka sendiri sekarang (Transgender Issues, n.d). Definisi transgender lain juga mencakup yaitu ‘tentang, berkaitan dengan, atau menetapkan seseorang yang identitasnya tidak sesuai dengan pengertian yang konvensional dari gender laki-laki atau perempuan, melainkan menggabungkan atau berada di antara keduanya’ (‘transgender’, 2004), dan ‘non-identifikasi dari, atau non-presentasi sebagai gender yang ditetapkan pada seseorang saat mereka lahir’ (Stroud District Council, 2007).
Menjadi transgender tidak memastikan orientasi seksual seseorang. Orang-orang transgender dapat mengidentifikasi orientasi seksual mereka sebagai heteroseksual, homoseksual, biseksual, aseksual, dll. Bahkan, beberapa orang transgender cenderung menganggap sistem orientasi seksual konvensional tidak berlaku bagi mereka.
Tidak seperti kalangan homoseksual, kaum transgender memiliki lambang dan benderanya tersendiri. Untuk simbol, mereka menggabungkan lambang dari gender wanita dengan laki-laki menjadi satu simbol utuh. Beberapa kalangan menambahkan tanda miring ditengah-tengah lingkarannya. Sementara, bendera Transgender yang paling terkenal adalah bendera yang didesain oleh Monica Helms, yaitu sebuah bendera dengan garis-garis biru muda di paling atas dan paling bawah, garis-garis merah jambu diantara keduanya, dan sebuah garis putih ditengah-tengah mereka. Helms mengatakan bahwa biru muda melambangkan warna tradisional untuk bayi laki-laki, sedangkan warna merah jambu adalah warna tradisional untuk bayi perempuan. Warna putih yang ditengah melambangkan kaum trans atau intersex yang masih dalam tahap transisi. Bendera ini dipopulerkan saat pengibarannya di distrik Castro di San Fransisco untuk mengenang Hari Transgender, seperti yang dilansir oleh The Huffington Post.
E. Queer/Questioning
Queer telah menjadi istilah yang lebih sering digunakan untuk menggambarkan praktek ilmu tertentu yang dianggap radikal dan juga digunakan sebagai deskriptor non-normatif. Memasuki bahasa Inggris di abad ke-16, queer awalnya diartikan sebagai aneh, pelik, atau eksentrik. Mungkin hal ini mengacu pada sesuatu yang mencurigakan atau dianggap “tidak benar”, atau seseorang dengan kegilaan ringan atau yang menunjukkan perilaku sosial yang tidak pantas (‘queer’, n.d).
Pada saat “Adventure of the Second Stain” diterbitkan, istilah itu mulai mendapatkan konotasi negatif, yakni sebagai penyimpangan seksual yang mengacu pada laki-laki feminin atau orang-orang yang terlibat dalam hubungan sesama jenis (Foldy, 1997).
Banyak kalangan LGBT yang menolak untuk menggunakan sebutan queer, karena mereka menganggap sebutan itu sebagai sesuatu ejekan bagi mereka (‘Is ‘Queer’ A Derogatory Word’?, n.d).
Sementara, Questioning yang secara harafiah berarti ‘mempertanyakan’ cukup memperjelas dirinya sendiri, yakni sebuah fase atau keadaan dimana seorang individual mempertanyakan identitas seksualnya sendiri (Morrisey, 2015).
F. Aseksual
Kaum Aseksual terdiri dari orang-orang yang tidak memiliki ketertarikan seksual pada jenis kelamin apapun maupun tidak pernah berhubungan secara intim atas kemauan sendiri yang didasari oleh tidak adanya ketertarikan.
The Asexual Visibility and Education Network (AVEN) memaparkan bahwa aseksual adalah seseorang yang tidak mengalami ketertarikan seksual dan menyatakan bahwa sebagian kecil masyarakat dunia pasti akan mengidentifikasikan diri mereka sebagai seorang aseksual selagi mereka mencari jati diri dan identitas seksual mereka dalam jangka waktu tertentu. Mereka juga mengatakan bahwa tidak ada tes yang benar-benar dapat memastikan bahwa seseorang benar-benar aseksual.
AVEN juga menyatakan, bahwa para aseksual juga pasti pernah mengalami ketertarikan, hanya saja mereka merasa ketertarikan itu tidak sampai seksual. Hubungan mereka sama dengan komunitas di jaringan LGBTQ lainnya, tetapi para aseksual tidak memiliki ketertarikan maupun keinginan untuk melakukan hal-hal yang berbau seksual.
Seperti transgender dan biseksual, aseksual memiliki benderanya tersendiri. AVEN mengadakan sebuah poll dimana para kaum aseksual dapat memilih gambar dari bendera untuk aseksual. Poll ini juga diselenggarakan di media sosial Tumblr oleh para social justice warrior. Pada akhirnya, yang terpilih adalah bendera dengan garis-garis horizontal berwarna hitam, abu-abu, putih, dan ungu yang bergradasi kebawah.
Warna-warna dari bendera tersebut memiliki artinya tersendiri. Hitam untuk para aseksual, abu-abu untuk para graysexual, putih untuk para kaum seksual, dan ungu untuk kebersamaan (A-Gent, 2010)
4. APAKAH DI INDONESIA TERDAPAT KOMUNITAS LGBTQA?
Jawabannya, ‘ya’. Meskipun Pemerintah tidak mengakui keberadaan kaum LGBTQA secara resmi, mereka tetap ada. Banyak dari pada golongan LGBTQA yang memutuskan untuk tidak mengakui orientasi seksualnya kepada publik yang didasarkan atas ketakutan akan dikucilkan atau diperlakukan buruk.
Namun meskipun begitu, ada banyak kalangan yang malah mempergunakan orientasi seksual mereka sebagai alat untuk mencari nafkah. Jika diperhatikan, banyak sekali waria-waria atau wanita transgender yang menjajakan dirinya di pinggir jalan. Ada juga yang sekedar mengamen saat lampu merah. Hanya kaum transgender saja yang berani menunjukkan dirinya secara terang-terangan.
Untuk komunitas yang mendukung gerakan pro-LGBTQA, tercatat ada sekitar 26 organisasi yang bergerak di bidang ini. Organisasi pertama yang tercatat di Indonesia adalah Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) yang terletak di Jakarta. Organisasi ini difasilitasi oleh Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta Raya yang memimpin saat masa itu. (Dwinanda, 2011). Sementara di era modern, organisasi pro-LGBTQA termasuk G.A.Y.a Nusantara, GWL-INA, SuaraKita, dll.
5. BAGAIMANA KEADAAN KOMUNITAS LGBTQA DI INDONESIA?
Layaknya negara berideologi adat ketimuran, LGBTQA nyaris tidak memiliki tempat di komunitas pergaulan Indonesia. Topik yang berbau seksual saja sudah dianggap sensitif atau tidak senonoh untuk dibahas dalam rapat pemerintahan, apalagi LGBTQA yang jelas-jelas berlawanan dengan ajaran agama Islam yang notabene merupakan agama mayoritas di Indonesia.
Seperti yang dapat diperkirakan, kaum LGBTQA mengalami banyak sekali diskriminasi’entah di lingkungan kerja, tempat tinggal, atau bahkan keluarga. Sering terdengar cerita-cerita mengenai orang tua yang tega mengusir anaknya hanya karena menyukai sesama jenisnya.
Seperti yang dikutip oleh BBC Indonesia, Ketua Arus Pelangi, Yuli Rustinawati, dalam diskusi laporan Badan Perserikatan Bangsa Bangsa yang menangani pembangunan (UNDP) memaparkan bahwa terdapat 89,3% kaum LGBT di Jakarta, Yogyakarta, dan Makassar pernah mendapat perlakuan kekerasan dan diskriminasi. Kekerasan yang dilakukan dikelompokkan menjadi 5 aspek, yakni aspek fisik, psikis, seksual, ekonomi, dan budaya.
Sedangkan menurut penelitian Divisi Litbang dan Pendidikan Komnas Perempuan, terdapat 3 jenis kekerasan yang biasanya dilakukan kepada kaum LGBTQA; kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan kekerasan emosional.
Pertama, kekerasan seksual. Para peneliti di Ardhanary Institute mewawancara 10 orang dan menemukan 9 orang LGBT yang diwawancarai mengalami kekerasan seksual, baik berupa perkosaan maupun pemaksaan aktivitas seksual yang lain. Pelaku kekerasan biasanya mulai dari keluarga, aparat penegak hukum, dokter, maupun masyarakat umum.
Lalu ada kekerasan fisik. Kekerasan fisik bentuknya dapat berupa pemukulan, tamparan, atau meludahi. Pelaku yang paling sering adalah keluarga, pasangan, hingga keluarga pasangan.
Kekerasan emosional biasanya dilakukan oleh keluarga setelah individual yang diserang ketahuan merupakan seorang LGBTQA Kekerasan emosional yang berbentuk sebagai ancaman biasanya dilakukan agar si individual menyembunyikan orientasi seksualnya agar tidak membawa malu bagi keluarganya, membatasi pergaulan, memaksa untuk ‘berobat’, penolakan, ataupun pengusiran. Kekerasan emosional yang lain juga dilakukan oleh media dengan membuat pemberitaan yang menjelek-jelekkan kalangan LGBT, misalnya dalam kasus pembunuhan berantai yang dilakukan Ryan.
6. APAKAH ADA UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN BAGI KAUM LGBTQA DI INDONESIA?
Sejauh ini, pemerintah belum mengadakan upaya apapun untuk membuat UU yang dapat melindungi kaum LGBTQA dari diskriminasi maupun kekerasan. Hal ini dikarenakan banyaknya kalangan di masyarakat yang menolak keberadaan LGBTQA.