Essay: Estetika

Estetika pada mulanya merupakan cabang filsafat yang menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan manusia terhadapnya. Estetika secara leksikal dimaknai sebagai kepekaan terhaadap seni dan keindahan (KBI, 2008: 401). Pada perkembangannya, penggunaan lema estetika melahirkan terminologi estetis yang berarti indah dan berkenaan dengan keindahan. Keindahan adalah nilai yang diberikan pada sesuatu yang dianggap mengandung unsur seni. Lantas, yang dimaksud estetika dalam tulisan ini adalah segala hal yang berkenaan dengan nilai keindahan bahasa dalam karya sastra.

Nilai adalah segala sesuatu yang bermanfaat sebagai pedoman bagi kehidupan manusia dalam masyarakat. Nilai selalu mempunyai konotasi positif (Bertens, 2007: 139). Nilai adalah setiap sesuatu yang kita setujui sebagai hal yang dapat menumbuhkan sesuatu yang positif. Nilai merupakan ruh yang menjiwai segala gagasan, perilaku, dan produk budaya manusia lainnya. Nilai tidak tampak di permukaan, ia bersifat sublim dan laten. Nilai mengendap pada segala wujud produk budaya manusia, termasuk teks sastra.
Karya sastra tidak pernah lahir dalam situasi yang kosong budaya (Teeuw, 1983: 11). Artinya, nilai yang terkandung dalam karya sastra merupakan representasi nilai yang berlaku dalam masyarakat tertentu, di mana pengarangya tinggal. Karya sastra lahir sebagai tanggapan terhadap sebuah situasi budaya yang melingkupi penulisnya. Sastra sendiri pada gilirannya menjadi bagian dari produk budaya masyarakat.
Karya sastra merupakan produk seni budaya yang dikonstruksi dengan memanfaatkan sistem tanda yang mempunyai makna dengan bahasa sebagai mediumnya (Prodopo, 2007: 121). Sebagai sistem tanda, termasuk simbol verbal, karya sastra memiliki beberapa peranan baik dalam usaha; (1) memberi pemahaman (mode of comprehension), (2) cara perhubungan (mode of communication), dan (3) cara penciptaan (mode of creation) (Kuntowijoyo, 2006: 171).
Sastra berperan memberi pemahaman, artinya melalui karya sastra; seorang pengarang dapat mendesakan pengertian-pengertian, gagasan atau wacana lain secara sublim kepada pembaca. Sastra sebagai cara berkomunikasi, maksudnya, dengan karya sastra seorang penulis melakukan dialog, menyampaikan pesan dengan pembacanya. Melalui sastra pula, seorang penulis mengolah relaitas secara kreatif menciptakan karya seni dengan bahasa sebagai mediumnya. Karya sastra lahir sebagai sebuah respon positif terhadap kondisi sebuah budaya, pada saat yang sama ia dapat pula lahir sebagai sebuah penolakan terhadap sebuah situasi budaya. Karya sastra dapat merefleksikan nilai dan jati diri penulisnya, sekaligus merepresentasikan identitas budaya masyarakat yang tinggal di sekitarnya (Trianton, 2013: 3).
Sastra merupakan produk seni, oleh sebab itu sastra yang baik adalah sastra mampu mencapai nilai estetika tertinggi. Namun bagi Kuntowijoyo sastra yang baik adalah sastra yang mampu menterjemahkan tiga peran tersebut dalam rangka menjalankan misi profetik. Di sinilah, sastra ditulis sebagai mode komunikasi yang inten yang berupaya memahamkan pembaca tentang pentingnya melakukan amar ma’ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi) dan tu’minu billah (transendensi). Bertemunya misi dakwah ‘peran kenabian- dengan sastra inilah yang melahirkan terminologi sastra profetik, yaitu sastra yang mengandung nilai-nilai profetik.
Dengan demikian, secara sederhana dapat diungkapkan bahwa konstruksi sastra profetik dibangun dengan tiga tiang utama, yaitu (1) perilaku humanisasi (2) semangat liberasi, dan (3) dengan pondasi nilai transendensi. Humanisasi ialah perilaku yang didasarkan pada elan menghidupkan rasa prikemanusianya terhadap sesama. Liberasi ialah sebuah kerja keras untuk mewujudkan mewujudkan cita-cita manusia yang bebas baik secara induvidu maupun kelompok dan menolak adanya pembatasan. Sedangkan transendensi adalah kesadaran tentang kehadiran Tuhan terhadap makna apa saja yang melampaui batas kemanusiaan (Kuntowijoyo, 2006: 9-21).
Lantaran sastra merupakan representasi latar sosial budaya penulisnya, maka sastra profetik adalah sastra yang berhadap-hadapan dengan realitas ‘lingkungan sosial penulisnya- dan melakukan kritik sosial budaya secara beradab. Sastra profetik adalah sasatra melakukan dan mengajak pembaca berdialektika tentang berbagai soal kehidupan sosial (Kuntowijoyo, 2006: 2). Dengan demikian, sastra profetik menjadi jawaban atas persoalan seputar internalisasi nilai pendidikan karakter yang beradab melalui sastra. Sastra profetik menjadi mode sekaligus varian dakwah melalui tulisan. Karya sastra profetik memiliki nilai strategis sebagai lembaga yang membumikan dakwah secara kultural.
Objek karya sastra adalah realitas apapun yang dimaksud oleh pengarangnya. Jika realitas yang dikemukakan melalui karya sastra merupakan bagian dari sejarah, maka karya dapat memenuhi tiga peran tersebut. Pertama, karya sastra akan mencoba menerjemahkan peristiwa itu dengan bahasa yang imajiner sesuai dengan pemahaman sastrawan. Kedua, karya sastra dapat menjadi piranti bagi pengarang untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan tanggapan atas suatu peristiwa sejarah. Dan ketiga, seperti halnya karya sejarah, karya sastra dapat merupakan rekonstruksi atas sebuah peristiwa sejarah atau budaya (Kuntowijoyo, 2006: 171).
Barangkali, inilah yang menjadi vitalitas dan dasar dari semangat Ahmad Tohari dalam melakukan proses kreatif menulis sastra, termasuk cerpen-cerpennya yang termaktub dalam kumpulan cerpen Senyum Karyamin (Tohari, 2005). Kapasitas Ahmad Tohari dalam panggung sastra Indonesia tak perlu diragukan lagi. Penulis novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) ini telah menjadi salah satu kampium sastrawan dunia dari Indonesia. Namanya mulai melambung, tatkala pada dekade 1970-an cerpen berjudul ‘Jasa-jasa Buat Sanwirya’ mendapat anugerah Sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep (1975). Tahun 1989, cerpen ini, dibukukan bersama 12 cerpen lain dalam buku kumpulan cerpen Seyum Karyamin (SK).
Kumpulan cerpen SK terdiri atas tiga belas cerita pendek, antara lain: “Senyum Karyamin”, “Jasa-Jasa Buat Sanwirya”, “Si Minem Beranak Bayi”, “Surabanglus”, “Tinggal Matanya Berkedip-Kedip”, “Ah Jakarta”, “Blokeng”, “Syukuran Sutabawor”, “Rumah yang Terang”, “Kenthus”, “Orang-orang Seberang Kali”, “Wangon Jatilawang”, serta “Pengemis dan Sholawat Badar”.
Membaca cerpen-cerpen tersebut, mula-mula kita seperti diajak bertamasya ke alam desa dengan suasana perkampungan yang asli Banyumas. Kepiawaian Tohari dalam membangun deskripsi alam pedesaan yang begitu hidup dan natural membuat pembaca seolah merasakan suasana seting peristiwa. Secara umum kumpulan cerpen SK mengangkat tema kehidupan masyarakat desa yang terlibat cinta kasih, persoalan kemanusiaan, sosial, ekonomi, dan religiusitas (Trianton, 2013: 5).
Di sisi lain, kumpulan cerpen SK merupakan potret kehidupan wong Banyumas yang apa adanya (cablaka). Karakter cablaka menjadi pusat atau inti model dari keseluruhan karakter wong Banyumas. Cablaka dapat dimaknai sebagai karakter yang mengedepankan keterusterangan ala wong Banyumas. Jika bertutur kata selalu thokmelong (tanpa basa-basi), sehingga dari luar akan tampak tidak memiliki unggah-ungguh (etika), lugas, dan terkesan kurang ajar (Priyadi, 2007: 13). Cablaka dan sikap egaliter merupakan identitas budaya wong Banyumas (Trianton, 2013: 18).
Perlu ditegaskan bahwa salah satu karakteristik kepengarangan Tohari ditandai dengan komitmennya terhadap persoalan wong cilik yang terpinggirkan. Pergulatan problemantika kehidupan masyarakat desa yang egaliter menjadi tema yang banyak digarap Tohari. Inilah ciri khusus hasil proses kreatifnya (Yudiono, 2003: 53).
Persinggungan latar sosial budaya Banyumas yang cablaka dengan pengetahuan Islam dan tradisi pesantren menjadikan karya Tohari penuh dengan nilai profetik dalam simpul khazanah budaya cablaka. Estetika cerpen-cerpen Tohari juga didukung dengan diksi bahasa Banyumasan dipadu dengan bahasa Indonesia yang sederhana, lugas, sehingga maksud pesan mudah dimengerti.
Karya sastra merupakan sebuah gejala bahasa tersendiri, yang menempatkan diri sebagai alternatif; yang justru mendapatkan makna pada kontrasnya dengan sistem pemaknaan umum (Dahana, 2001: 12). Oleh karena itu untuk mendapatkan makna dari sebuah karya sastra secara memadai diperlukan tafsir dengan melibatkan sistem tanda bahasa, sastra dan budaya. Prosedur penafsiran teks sastra semacam ini disebut dengan pendekatan hermeneutika.
Hermeneutika dalam perspektif kritik sastra profetik disebut dengan terminologi ta’wil. Ta’wil adalah metode dan teori pengkajian sastra Islam, yaitu sebuah fitur penafsiran teks sastra yang berpedoman pada pandangan hidup serta worldview dengan kecendekiawanan ajaran Islam (Hadi WM, 2004: 64).
Di sinilah pentingnya tulisan ini; secara khusus berupaya mengidentifikasi dan membahas ihwal estetika profetik dalam khazanah budaya cablaka yang terpresentasi pada kumpulan cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari. Tulisan ini secara keseluruhan merupakan interpretasi terhadap teks sastra menggunakan pendekatan hermeneutika.

Leave a Comment

Time limit is exhausted. Please reload the CAPTCHA.