BAB IV
HASIL DAN ANALISIS
4.1 Uji Asumsi Klasik Manajemen Laba
4.1.1 Uji Normalitas Manajemen Laba
Uji normalitas dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik Kolmogorov-Smirnov Test (K-S). Data dikatakan berdistribusi normal jika nilai signifikansi yang diperoleh lebih besar dari nilai signifikansi yang ditetapkan (Ghozali, 2011).
Tabel 4.1
Uji Normalitas Manajemen Laba
Keterangan Jumlah Observasi Signifikasi Kolmogorof-Sirnov
Unstandardized Residual 40 0,266
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2014.
Model regresi yang baik adalah model yang datanya terdistribusi secara normal. Data akan terdistribusi secara normal jika memiliki nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 (Ghozali,2011). Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa semua model regresi pada penelitian ini memiliki data yang terdistribusi secara normal.
4.1.2 Uji Multikolinearitas Manajemen Laba
Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas dalam model regresi dapat dilihat dari Tolerance Value atau Variance Inflation Factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukkan setiap variabel independen manakah yang dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Nilai cut off yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya multikolinearitas adalah nilai Tolerance Value ??? 0,1 atau sama dengan nilai VIF ??? 10 (Ghozali, 2011). Untuk uji multikolonieritas pada model regresi 1a sampai model regresi 7a tidak dilakukan karena variabel independennya hanya satu.
Tabel 4.2
Hasil Uji Multikolinearitas
Variabel Tolerance VIF
REV/TA-1 0,977 1,023
PPE/TA-1 0,977 1,023
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2014.
Berdasarkan tabel 4.2 diatas dapat diketahui bahwa hasil perhitungan Tolerance-Value ??menunjukkan bahwa semua variabel yang memiliki Tolerance??-Value lebih besar 0,1 dan nilai Variance-Inflation-Factor (VIF) juga menunjukkan bahwa semua variabel independen yang memiliki nilai VIF lebih kecil dari 10. Jadi dapat disimpulkan bahwa semua variabel independen dalam model regresi tersebut terbebas dari masalah multikolinearitas.
4.1.3 Uji Heterokedastisitas Manajemen Laba
Pada pengujian heterokedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji Glejser. Glejser mengusulkan untuk meregresi nilai absolut residual terhadap variabel independen (Gujarati,2003 dalam Ghozali,2011).
Tabel 4.3
Hasil Uji Heteroskedastisitas
Variabel Signifikansi
REV/TA-1 0,806
PPE/TA-1 0,805
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2014.
Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan bahwa nilai signifikansi masing-masing variabel pada model regresi berada di atas nilai signifikansi yang telah ditetapkan (??) = 5% atau sebesar 0,05 jadi dapat disimpulkan bahwa seluruh model regresi telah bebas dari adanya heterokedastisitas.
4.1.4 Uji Autokorelasi Manajemen Laba
Uji autokorelasi dilakukan dengan menggunakan Durbin-Watson dengan menggunakan kriteria penerimaan berdasarkan tabel Durbin-Watson. Berikut ini adalah hasil dari uji autokorelasi dari ketiga model dalam penelitian ini :
Tabel 4.4
Hasil Uji Autokorelasi
Keterangan Hasil Regresi Nilai du tabel
dW Du 4-du
Durbin Watson 1,954 1,600 2,400
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2014.
Berdasarkan tabel 4.4 dari hasil uji autokorelasi yang menggunakan durbin-watson,dapat disimpulkan bahwa seluruh model regresi pada penelitian ini tidak mengandung autokorelasi. Hal ini dapat dilihat dari nilai durbin-watson yang memenuhi syarat dU < dW < 4 ??? dU.
4.1.5 Penghitungan Diskretionary Accrual (DA)
Proses penghitungan discretionary accrualdilakukan melalui beberapa tahap. Pertama dilakukan dengan pengukuran total accruals, yaitu:
TACit = Net Incomeit ??? Cash Flow From Operationit
Setelah itu menghitung nilai total accruals yang diestimasi dengan persamaan regresi. Penghitungan terlebih dahulu dilakukan denganregresi linier berganda terhadap TACit/TAit-1 sebagai variabel dependen serta ???REVit/TAit-1 dan PPEit/TAit-1 sebagai variabel independennya. Dengan melakukan regresi terhadap ketiga variabel tersebut maka akan diperoleh kefisien dari variabel independen.
Tabel 4.5
Uji Regresi Manajemen Laba
Coefficients(a)
Model
Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) -,003 ,050 -,060 ,953
a1 ,022 ,075 ,048 ,291 ,773
a2 ,010 ,019 ,089 ,535 ,596
a Dependent Variable: Y
Berdasarkan tabel 4.5 dapat diketahui koefisien dari variabelindependen yaitu a0 = -0,003: a1 = 0,022: a2 = 0,010. Kemudian nilai ini akan dimasukkan ke persamaan berikut ini:
NDAit = -0,003(1/TAit-1)+0,022((??REVit?????RECit)/TAit-1)+0,010(PPEit/TAit-1)
Selanjutnya nilai DA dapat dihitung dengan rumus:
DAit = Tait/Ait-1 ??? NDAit
Kemudian langkah yang terakhir ,nilai dari discretionary accrual (DA) tersebut diabsolutkan.
4.2. Statistik Deskriptif
Pada bagian ini akan dibahas mengenai nilai statistik deskriptif masing-masing variabel penelitian. yaitu CR, DER, TATO, ROA, INFLASI, SBI, KP. Berikut ini adalah statistik deskriptif untuk masin-masing varibel penelitian yaitu:
Tabel 4.13
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
IR 40 ,01081 3,26667 ,4519464 ,65828947
CR 40 ,10150 135,00000 5,0496988 21,15052250
DER 40 ,20864 1,40939 ,6391319 ,24268634
TATO 40 ,00148 3,65452 ,9892358 ,87382405
ROA 40 -,12242 ,21424 ,0562338 ,07852644
INF 40 ,03430 ,11850 ,0541650 ,01644766
SBI 40 ,05750 ,09000 ,0650000 ,00790569
KP 40 -,05620 ,02431 ,0003562 ,01198163
DA 40 ,00039 ,80625 ,1320223 ,15941675
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2014.
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui nilai minimum dari underpricing adalah 0,01081 dan nilai maksimumnya 3,26667 dengan rata-rata 0, 4519464, artinya rata-rata underpricing perusahaan yang melakukan initial public offering adala sebesar 0, 4519464 dengan standar deviasi 0, 65828947.
Untk variabel CR nilai minimunya 0, 10150 dan maksimum 135 dengan rata-rata 5,0496988, hal tersebut menunjukkan kemampuan rata-rata aset lancar pada perusahaan IPO untuk melunasi kewajiban lancarnya sebesar 5,0496988 dengan nilai deviasi standar 21,15052250.
Untuk variabel DER menunjukan rasio perbandingan antara hutang dengan modal perusahaan dengan nilai minimum sebesar 0,20864 dan nilai maksimum 1,40939 serta nilai rata-rata 0, 6391319 yang artinya hutang perusahaan dibiayai modalnya sebesar 0, 6391319 dan standar deviasi sebesar 0, 24268634.
Variabel TATO menunjukkan seberapa efektifitas perusahaan menggunakan assetnya, memiliki nilai minimum 0,00148 dan nilai maksimum 3,65452 dengan nilai rata-rata 0,9892358 yang artinya rata-rata penjualan perusahaan berdasarkan asset perusahaan sebesar 0,9892358 dengan standar deviasi atau penyimpangannya sebesar 0, 87382405.
Variabel ROA menunjukkan return yang dimiliki oleh pemilik perusahaan atas investasinya memiliki nilai minimum -0,12242190 dan nilai maksimum 0,214239819 dengan nilai rata-rata 0,056233814375 artinya tingkat pengembalian terhadap investasi yang dimiliki sebesar 0,056233814375 dengan standar deviasi 0,07852643574119.
Nilai minimum dari variabel inflasi sebesar 0,3430 deangan nilai maksimum 0,10380 nilai rata-rata inflasi sebesar 0,0525194 dan standar deviasinya 0,0164476566798 nilai standar deviasi yang lebih kecil dari rata-taranya dapat disimpulkan data yang digunakan dalam variabel inflasi mempunyai sebaran yang kecil sehingga merupakan data yang bagus.
Variabel SBI memiliki nilai minimum sebesar 0,05750 dengan nilai maksimum 0,09 rata-rata nilainya 0,065 dan nilai standar deviasinya 0,007905694150421. Variabel KP memiliki nilai minimum seesar -0,05620 nilai maksimum 0,02431 dan nilai rata-rata 0,0003561813425 sedangakn standar deviasinya sebesar 0,0119816325299. Nilai minimum dari varibel DA sebesar 0,000388509 dan nilai maksimum 0,806248099 hal ini mengindikasikan terdapat beberapa peusahaan yang secara gresif menggunakan praktik manajemn laba. Rata-rata nilai DA dalam penelitian ini 0,1320223369 dengan standar deviasi 0,1594167471468.
4.3. Uji Asumsi Klasik Hipotesis
4.2.1. Uji Normalitas
Uji normalitas dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik Kolmogorov-Smirnov Test (K-S). Data dikatakan berdistribusi normal jika nilai signifikansi yang diperoleh lebih besar dari nilai signifikansi yang ditetapkan (Ghozali, 2011).
Tabel 4.6
Hasil Uji Normalitas
Keterangan Kolmogorov ??? Smirnov
N Sig.
Unstandardized Residual (Model Regresi 1) 34 0,916
Unstandardized Residual (Model Regresi 2) 32 0,167
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2014.
Model regresi yang baik adalah model yang datanya terdistribusi secara normal. Data akan terdistribusi secara normal jika memiliki nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 (Ghozali,2011). Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa model regresi 1 dan model regresi 2 pada penelitian ini memiliki data yang terdistribusi secara normal.
4.2.2. Uji Multikolinearitas
Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas dalam model regresi dapat dilihat dari Tolerance Value atau Variance Inflation Factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukkan setiap variabel independen manakah yang dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Nilai cut off yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya multikolinearitas adalah nilai Tolerance Value ??? 0,1 atau sama dengan nilai VIF ??? 10 (Ghozali, 2011).
Tabel 4.7
Hasil Uji Multikolinearitas model regresi 1
Variabel Tolerance VIF
CR 0,931 1,074
DER 0,703 1,422
TATO 0,718 1,393
ROA 0,605 1,654
INF 0,533 1,877
SBI 0,567 1,762
KP 0,808 1,238
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2014.
Berdasarkan tabel 4.8 diatas dapat diketahui bahwa hasil perhitungan Tolerance-Value ??menunjukkan bahwa semua variabel yang memiliki Tolerance??-Value lebih besar 0,1 dan nilai Variance-Inflation-Factor (VIF) juga menunjukkan bahwa semua variabel independen yang memiliki nilai VIF lebih kecil dari 10. Jadi dapat disimpulkan bahwa semua variabel independen dalam model regresi tersebut terbebas dari masalah multikolinearitas.
Tabel 4.8
Hasil Uji Multikolinearitas model regresi 2
Variabel Tolerance VIF
CR 0,358 2,792
DER 0,253 3,953
TATO 0,417 2,395
ROA 0,307 3,253
INF 0,111 9,049
SBI 0,190 5,269
KP 0,179 5,601
CR.DA 0,138 7,241
DER.DA 0,018 54,930
TATO.DA 0,190 5,251
ROA.DA 0,098 10,200
INF.DA 0,002 539,894
SBI.DA 0,001 896,094
KP.DA 0,091 10,947
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2014.
Berdasarkan tabel 4.9 diatas dapat diketahui bahwa hasil perhitungan Tolerance-Value ??menunjukkan bahwa variabel DER.DA, INF.DA, dan SBI.DA memiliki nilai Tolerance??-Value lebih kecil dari 0,1 dan memiliki nilai Variance-Inflation-Factor (VIF) diatas 10. Sehingga belum dapat terbebas dari masalah multikolinearitas. Agar semua variabel terbebas dari masalah multikolinearitas dilakukan pengobatan dengan melakukan mean centering, yaitu dengan mengurangkan masing-masing variabel dengan mean masing-masing. Sehingga diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 4.9
Hasil Uji Multikolinearitas model regresi 2
Variabel Tolerance VIF
CR 0,314 3,183
DER 0,311 3,211
TATO 0,574 1,742
ROA 0,409 2,442
INF 0,163 6,134
SBI 0,334 2,992
KP 0,406 2,463
CR.DA 0,437 2,290
DER.DA 0,129 7,757
TATO.DA 0,447 2,238
ROA.DA 0,280 3,567
INF.DA 0,093 10,769
SBI.DA 0,420 2,383
KP.DA 0,276 3,617
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2014.
Berdasarkan tabel 4.11 diatas dapat diketahui bahwa hasil perhitungan Tolerance-Value ??menunjukkan bahwa semua variabel yang memiliki Tolerance??-Value lebih besar 0,1 dan nilai Variance-Inflation-Factor (VIF) juga menunjukkan bahwa semua variabel independen yang memiliki nilai VIF lebih kecil dari 10. Jadi dapat disimpulkan bahwa semua variabel independen dalam model regresi tersebut terbebas dari masalah multikolinearitas.
4.2.3. Uji Heterokedastisitas
Pada pengujian heterokedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji Glejser. Glejser mengusulkan untuk meregresi nilai absolut residual terhadap variabel independen (Gujarati,2003 dalam Ghozali,2011).
Tabel 4.10
Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Regresi 1
Variabel Signifikansi
CR 0,176
DER 0,447
TATO 0,817
ROA 0,861
INF 0,743
SBI 0,952
KP 0,704
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2014.
Berdasarkan tabel 4.13 menunjukkan bahwa nilai signifikansi masing-masing variabel pada model regresi 1 berada di atas nilai signifikansi yang telah ditetapkan (??) = 5% atau sebesar 0,05 jadi dapat disimpulkan bahwa seluruh model regresi telah bebas dari adanya heterokedastisitas.
Tabel 4.11
Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Regresi 2
Variabel Signifikansi
CR 0,450
DER 0,917
TATO 0,064
ROA 0,782
INF 0,744
SBI 0,884
KP 0,127
CR.DA 0,293
DER.DA 0,914
TATO.DA 0,507
ROA.DA 0,652
INF.DA 0,737
SBI.DA 0,898
KP.DA 0,088
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2014.
Berdasarkan tabel 4.15 menunjukkan bahwa nilai signifikansi masing-masing variabel pada model regresi 2 berada di atas nilai signifikansi yang telah ditetapkan (??) = 5% atau sebesar 0,05 jadi dapat disimpulkan bahwa seluruh model regresi telah bebas dari adanya heterokedastisitas.
4.2.4. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi dilakukan dengan menggunakan Durbin-Watson dengan menggunakan kriteria penerimaan berdasarkan tabel Durbin-Watson. Berikut ini adalah hasil dari uji autokorelasi dari ketiga model dalam penelitian ini :
Tabel 4.12
Hasil Uji Autokorelasi Model Regresi 1
Keterangan Hasil Regresi Nilai du table Nilai dL tabel
dW dU 4-du dL 4-dL
Durbin Watson 2,020 1,979 2,021 1,015 2,985
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2014.
Dari hasil uji autokorelasi menggunakan durbin-watson, dapat disimpulkan bahwa model regresi 1 pada penelitian ini tidak mengandung autokorelasi. Hal ini dapat dilihat dari nilai durbin-watson yang memenuhi syarat dengan nilai dU < dW < (4-dU).
Tabel 4.13
Hasil Uji Autokorelasi Model Regresi 2
Keterangan
dW
dU
4-du
dL
4-dL
Durbin Watson 2,143 2,733 1,267 0,5151 3,4849
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2014.
Sedangkan pada model regresi 2 hasil uji autokorelasi tidak dapat disimpulkan atau tanpa keputusan karena nilai dL < DW < Du atau (4-dU) < DW < (4-dU). Peneliti melakukan pengujian kembali model regresi 2 dengan menggunakan uji Runs Test. Uji Run Test digunakan untuk menguji apakah antar residual terdapat korelasi yang tinggi.
Tabel 4.14
Uji Runs Test Model Regresi 2
Runs Test
Unstandardized Residual
Test Value(a) -,01694
Cases < Test Value 16
Cases >= Test Value 16
Total Cases 32
Number of Runs 18
Z ,180
Asymp. Sig. (2-tailed) ,857
a Median
Hasil uji Runs test menunjukkan bahwa Nilai test adalah -0,01694 dengan probabilitas signifikansi sebesar 0,857 signifikan pada 0,050. Hal ini berarti bahwa model regresi tersebut tidak memiliki masalah autokorelasi.
4.3. Pengujian Hipotesis
4.3.1. Koefisien Determinasi
Model Regresi 1 dan Model Regresi 2
Tabel 4.15
Koefisien Determinasi Model Regresi 1 dan Model Regresi 2
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 ,712(a) 0,507 ,374 0,25535956
2 ,832(a) 0,692 ,439 0,22855680
a Predictors: (Constant), KP, TATO, INF, CR, DER, ROA, SBI
b Predictors: (Constant), KP.DA, TATO, INF, CR, SBI.DA, DER, ROA, SBI, TATO.DA, KP, ROA.DA, DER.DA, INF.DA, CR.DA, DA
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2014.
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa besarnya adjusted R square pada model regresi 1 adalah 0,507. Hal ini berarti bahwa 50,7% variabel IR (Initial Return) dapat dijelaskan oleh variabel CR,DER,TATO,ROA,INF,SBI KP, sedangkan sisanya (100% – 50,7% = 49,3%) dijelaskan oleh sebab-sebab lain diluar model. Setelah adanya variabel interaksi nilai adjusted R square pada model regresi 2 naik sebesar 0,439. Hal ini berarti bahwa 43,9% variabel IR (Initial Return) dapat dijelaskan oleh variabel dari CR,DER,TATO,ROA,INF,SBI,KP,DA. Sedangkan sisanya (100% – 43,9% = 56,1%) dijelaskan oleh sebab-sebab lain diluar model.
4.3.2. Uji Signifikansi (Uji Statistik F)
Tabel 4.16
Uji Signifikansi (Uji Statistik F) Model Regresi 1 dan Model Regresi 2
ANOVA(b)
Model
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1
Regression
Residual
Total 1,743
1,695
3,438 7
26
33 0,249
0,065 3,748 ,006(a)
2
Regression
Residual
Total 1,997
0,888
2,885 14
17
31 ,143
,052 2,731
,026(a)
a Predictors: (Constant), KP, TATO, INF, CR, DER, ROA, SBI
b Predictors: (Constant), KP.DA, TATO, INF, CR, SBI.DA, DER, ROA, SBI, TATO.DA, KP, ROA.DA, DER.DA, INF.DA, CR.DA, DA
c Dependent Variable: IR
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2014.
Tabel 4.16 menunjukkan bahwa dari uji ANOVA atau F test pada model regresi 1 dipeoleh nilai hitung sebesar 3,748 dengan nilai signifikansi 0,006. Sedangkan pada pengujian model regresi 2 dengan menambahkan variabel interaksi diperoleh nilai hitung sebesar 2,731 dengan nilai signifikansi 0,026. Hal ini menunjukkan bahwa model regresi 1 dan model regresi 2 dapat digunakan untuk memprediksi IR. Dimana ketepatan tersebut ditunjukkan oleh tingkat signifikansi yang nilainya lebih kecil dari nilai signifikansi yang telah ditetapkan sebesar 0,05.
4.3.3. Pengujian Hipotesis 1 (H1a) ??? Hipotesis 7 (H7b)
Tabel 4.17
Pengujian Model Regresi 1 (Hipotesis 1 (H1a)??? Hipotesis 7 (H7a))
Coefficients(a)
Model
Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta Kesimpulan
1 (Constant) -,086 ,457 -,188 ,853
??1CR ,063 ,028 ,318 2,225 ,035 Diterima
??2DER -,755 ,228 -,545 -3,317 ,003 Diterima
??3TATO -,032 ,059 -,088 -,540 ,594 Ditolak
??4ROA -1,819 ,729 -,442 -2,494 ,019 Ditolak
??5INF -7,858 4,653 -,319 -1,689 ,103 Ditolak
??6SBI 20,653 8,971 ,421 2,302 ,030 Diterima
??7KP 7,030 3,858 ,279 1,822 ,080 Ditolak
a Dependent Variable: IR
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2014.
1. Rasio likuiditas berpengaruh positif dan signifikan terhadap underpricing.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dari Tabel 4.20 menunjukkan bahwa variabel rasio likuiditas memiliki nilai beta sebesar 0,116 dan nilai t hitung sebesar 5,200 serta dengan signifikansi sebesar 0,000 dan nilai signifikansi berada dibawah 5%. Berarti hasil penelitian pada hipotesis H1 ini adalah Rasio Likuiditas berpengaruh positif dan signfikan terhadap underpricing. Dengan demikian H1a dalam penelitian ini diterima.
Hasil dari penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Mawardi (2007), Ulupui (2005), Suyatmin dan Sujadi (2006), Prihantini (2009), Clarensia (2011) yang menyimpulkan bahwa Current Rasio memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap initial return. Rasio likuiditas adalah kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban finansial jangka pendeknya tepat waktu. Perusahaan yang mampu memenuhi kewajiban keuangannya tepat waktu berarti perusahaan tersebut dalam keadaan likuid dan mempunyai aset lancar lebih besar daripada hutang lancarnya. Perusahaan yang likuid menunjukkan bahwa perusahaan tersebut mampu menghadapi fluktuasi bisnis. Nilai likuiditas perusahaan yang tinggi akan menarik minat investor karena dapat menguntungkan dan mengurangi ketidakpastian investor dalam menanamkan investasinya dalam jangka panjang pada perusahaan tersebut, sehingga initial return juga meningkat.
2. Rasio hutang berpengaruh negatif dan signifikan terhadap underpricing.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dari Tabel 4.20 menunjukkan bahwa variabel rasio hutang memiliki nilai koefisien beta sebesar -0,658 dan nilai t hitung sebesar -3,405 dengan nilai signifikansi 0,002 yang lebih kecil dari 5%. Hal ini berarti menunjukkan bahwa rasio hutang berpengaruh negatif dan signifikan terhadap underpricing. Dengan demikian H2a dalam penelitian ini diterima.
Rasio hutang menggambarkan seberapa baik perusahaan tersebut dalam mengelola aktiva yang digunakan untuk menjamin hutang. Apabila leverage suatu perusahaan tinggi maka tinggi pulalah resiko perusahaan. Rasio hutang mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar seluruh hutang perusahaan menggunakan ekuitas perusahaan. Semakin rendah rasio ini menunjukan semakin baik kemampuan perusahaan dalam melunasi hutang-hutang dengan ekuitas perusahaan. Perusahaan yang melakukan IPO dengan nilai rasio hutang yang rendah, sahamnya akan diburu oleh investor sehingga harga saham perusahaan tersebut akan meningkat dan terjadi underpricing. Hasil Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sulistyo (2005), Widyanti (2013), Prihantini (2009) yang menunjukan bahwa rasio hutang berpengaruh negatif terhadap underpricing.
3. Rasio aktivitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap underpricing.
hasil pengujian hipotesis dari Tabel 4.20 menunjukkan bahwa variabel rasio aktivitas memiliki nilai koefisien beta sebesar 0,147 dan nilai t hitung sebesar 1,209 dengan nilai signifikansi 0,234 yang lebih besar dari 5%. Hal ini berarti menunjukkan bahawa rasio aktivitas tidak berpengaruh terhadap underpricing. Dengan demikian H3a dalam penelitian ini ditolak.
Hasil pengujian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2009), Lely (2013), dan Chandra (2013). Hasil ini mengindikasikan bahwa rasio aktivitas tidak terlalu memberikan daya tarik bagi investor dalam melakukan investasinya. Meskipun informasi yang disajikan memberikan gambaran bagaimana aktiva yang terdapat pada perusahaan dapat dikembalikan dari hasil aktivitasnya berupa pendapatan atau penjualan bersih pada perusahaan tersebut. Implikasi ini menunjukkan bahwa pergerakan aktiva oleh hasil aktivitas perusahaan masih kurang memberikan sinyal positif bagi investasi yang dilakukan investor.
4. Rasio Profitabilitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap underpricing.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dari Tabel 4.20 menunjukkan menunjukkan bahwa variabel rasio profitabilitas memiliki nilai koefisien beta sebesar -1,423 dan nilai t hitung sebesar -3,019 dengan nilai signifikansi 0,005 yang lebih kecil dari 5%. Hal ini berarti menunjukkan bahwa rasio profitabilitas berpengaruh negatif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Dengan demikian H4a dalam penelitian ini ditolak.
Hasil penelitian Fatmawati (2009), Nurmalasari (2010), Mugiasih (2011), Hasanah (2008), Suryanto dan Chariri (2002) menyatakan bahwa ROA berpengaruh signifikan positif terhadap return saham. Sedangkan hasil penelitian ini rasio profitabilitas memiliki arah negatif dan signifikan terhadap underpricing, hasil penelitian ini sejalan dengan dengan penelitian yang dilakukan oleh Arman (2012), Aini (2009), Handayani (2009). Pengukuran profitabilitas perusahaan dapat dilihat melalui Return On Asset (ROA) emiten tersebut. ROA merupakan suatu rasio penting yang dapat dipergunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan memperoleh laba dengan asset yang dimilikinya. Investor yang hendak menanamkan modalnya dapat mempergunakan rasio ini sebagai bahan pertimbangan apakah emiten dalam operasinya nanti dapat memperoleh laba. Dengan kemampuan emiten yang tinggi untuk menghasilkan laba atas asetnya maka akan terlihat bahwa resiko yang akan dihadapi investor akan kecil. Ini berarti bahwa perusahaan dapat memanfaatkan seluruh asetnya dalam memperoleh laba. Jadi, semakin tinggi ROA perusahaan akan semakin rendah tingkat underpricing (selisih antara harga saham hari pertama listing dengan harga saham perdana semakin rendah) karena investor akan menilai kinerja perusahaan lebih baik dan bersedia membeli saham perdananya dengan harga yang lebih tinggi.
5. Inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap underpricing.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dari Tabel 4.20 menunjukkan bahwa variabel inflasi memiliki nilai koefisien beta sebesar 14,386 dan nilai t hitung sebesar 3,454 dengan nilai signifikansi 0,02 yang lebih besar dari 5%. Hal ini berarti menunjukkan bahwa inflasi berpengaruh terhadap underpricing. Dengan demikian H5a dalam penelitian ini ditolak.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ayuningtyas (2010), yang menyimpulkan bahwa inflasi tidak berpengaruh terhadap underpricing saham pada perusahaan yang melakukan IPO. Kondisi perekonomian indonesia yang tidak stabil dan nilai inflasi yang berubah-ubah membuat investor tidak ingin berspekulasi atau lebih bersifat menunggu dalam menentukan investasinya. Amin (2012) dalam penelitiannya juga menyimpulkan bahwa faktor inflasi tidak secara langsung menjadi pertimbangan bagi inestor dalam mengambil keputusan investasinya. Investor cenderung menunggu informasi lain kemudian menganalisa semua informasi secara bersama-sama untuk mengambl keputusan. Secara teoritis, pola hubungan negatif antara tingkat inflasi dengan initial return disebabkan oleh meningkatnya biaya produksi sehingga akan menurunkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Berdasakan data inflasi pada ststistik deskriptif, rata-rata tingkat inflasi selama periode penelitian adalah 0,68. Hal tersebut menunjukkan bahwa pasar masih bisa menerima jika tingkat inflasi dibawah 10 persen. Namum sebaliknya, apabila tingkat inflasi diatas 10 persen, maka BI akan meningkatkan BI ratenya, sehingga investor cenderung mengalihkan investasinya pada sektor perbankan (Kewal, 2011).
6. SBI berpengaruh negatif dan signifikan terhadap underpricing.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dari Tabel 4.20 menunjukkan bahwa variabel SBI memiliki nilai koefisien beta sebesar 28,804 dan nilai t hitung sebesar 3,290 dengan nilai signifikansi 0,002 yang lebih kecil besar dari 5%. Hal ini berarti menunjukkan bahwa SBI berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Dengan demikian H6 dalam penelitian ini diterima.
Perubahan suku bunga bisa mempengaruhi variabilitas return suatu investasi. Perubahan suku bunga akan mempengaruhi harga saham secara terbalik, jika suku bunga meningkat, maka harga saham akan turun, demikian pula sebaliknya, jika suku bunga turun, harga saham naik. Namun dalam penelitian ini sbi berpengaruh positif terhadap underpricing. Secara teoritis, investor cenderung lebih menyukai menabung pada saat tingkat bunga deposito tinggi, sebab investasi di bidang ini relatif tidak mengandung risiko. Sebaliknya investor akan lebih menyukai kecenderungan menginvestasikan uang dalam bentuk saham ketika tingkat bunga deposito rendah. Permintaan saham yang berkurang ini akan menurunkan harga saham dan berarti terjadi capital loss yang menyebabkan menurunnya return saham. Dengan demikian suku bunga SBI ini mempunyai pengaruh yang positif terhadap harga saham dan return saham. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Raharjo (2004) menyimpulkan bahwa suku bunga berpengaruh positif dan signifikan terhadap underpricing. Artinya semakin tinggi nilai suku bunga, maka akan semakin menurunkan harga saham perdana perusahaan yang bersangkutan, sehingga berdampak terhadap nilai underpricing.
7. Kondisi pasar berpengaruh positif dan signifikan terhadap underpricing.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dari Tabel 4.20 menunjukkan bahwa variabel kondisi pasar memiliki nilai koefisien beta sebesar 2,613 dan nilai t hitung sebesar 0,576 dengan nilai signifikansi 0,589 yang lebih besar dari 5%. Hal ini berarti menunjukkan bahwa kondisi pasar tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Dengan demikian H6 dalam penelitian ini ditolak.
Hasil penelitian menunjukkan kondisi pasar tidak berpengaruh terhadap underpricing saham. Penelitia ini sejalan dengan penelitian Kartikasari (2012), Ariawati (2005), Kurniawan (2002), dan Wardhany (2003). Meskipun penjamin emisi dan emiten menilai harga saham sebelum IPO bergerak kuat dan harga perdana ditetapkan tinggi. Namun, pada saat saham memasuki pasar sekunder, pasar dapat bereaksi memberikan sinyal positif atau negati. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa investor dalam membeli saham perdana tidak memperhatikan kondisi pasar, karena kondisi pasar cenderung bersifat teknikal, sementara investor lebih rasional dan lebih mengedepankan aspek fundamental. Natarsyah dalam Arista (2012) menyatakan bahwa dalam analisis fundamental setiap investasi saham mempunyai landasan kuat yaitu nilai intrinsik yang dapat ditentukan melalui suatu analisis terhadap kondisi perusahaan pada saat sekarang dan prospeknya di masa yang akan datang. Nilai intrinsik merupakan suatu fungsi dari faktor-faktor perusahaan yang dikombinasikan untuk menghasilkan keuntungan (return) yang diharapkan pada saham tersebut.
4.3.4. Pengujian Hipotesis 1 (H1b) ??? Hipotesis 7 (H7b)
Tabel 4.18
Pengujian Model Regresi 1 (Hipotesis 1 (H1b)??? Hipotesis 7 (H7b))
Coefficients(a)
Model
Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta Kesimpulan
1 (Constant) -,560
-,114
2,705
,155
11,981
-20,153
-30,222
9,111 ,448
,284
2,878
,425
5,127
96,098
112,937
51,049 1,251 ,228
??9CR.DA
??10DER.DA
??11TATO.DA
??12ROA.DA
??13INF.DA
??14SBI.DA
??15KP.DA -,146
,937
,113
1,004
-,656
-1,078
,079 -,402 ,693 Ditolak
,940 ,361 Ditolak
,366 ,719 Ditolak
2,337 ,032 Diterima
-,210 ,836 Ditolak
-,268 ,792 Ditolak
,178 ,860 Ditolak
a Dependent Variable: IR
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2014.
Berdasarkan tabel 4.20 diatas dapat diketahui hasil dari pengujian hipotesis (H1a)??? hipotesis 7 (H7a), dan berikut ini adalah penjelasan dari setiap hasil pengujian hipotesis tersebut :
1. Manajemen laba mampu memoderasi hubungan rasio likuiditas terhadap undepricing.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dari Tabel 4.20 menunjukkan bahwa interaksi variabel independen dengan variabel moderating CR*DA memiliki nilai koefisien beta sebesar 0,446 dan nilai t hitung sebesar 2,081 dengan nilai signifikansi 0,046. Nilai signifikansi ini lebih rendah dari 5%. Hal ini berarti menunjukkan bahwa manajaemen laba mampu memoderasi hubungan antara rasio likuiditas dengan underpricing. Dengan demikian H1b dalam penelitian ini ditolak.
Hal tersebut kemungkinan disebabkan kemampuan likuiditas sangat diperhatikan oleh pemilik perusahaan terkait dalam pembiayaan hutang jangka pendek yang dinilai sangat menguntungkan bagi perusahaan. Semakin tinggi tingkat likuiditas maka semakin baik kemampuan perusahaan dalam melunasi kewajiban jangka pendeknya namun tingkat likuiditas yang terlalu tinggi justru dianggap tidak baik mengingat bahwa likuiditas yang terlalu tinggi menunjukan bahwa manajemen buruk dalam mengelola sumber likuiditas sehingga hal tersebut memicu manajer untuk merlakukan perataan laba agar kinerjanya dinilai bagus (Prasetya, 2013).
Likuiditas merupakan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya dengan menggunakan aset lancar yang dimiliki perusahaan sehingga perusahaan dinilai baik apabila memiliki nilai likuiditas yang tinggi. Semakin besar tingkat likuiditas maka semakin besar peluang manajer melakukan praktik perataan laba. Menurut Kuswadi dalam Wibowo (2011), semakin tinggi rasio lancar menunjukan perubahan laba yang tinggi sehingga perubahan laba yang tinggi dapat menunjukan bahwa perusahaan melakukan manajemen laba, perataan laba yang merupakan bagian dari manajemen laba membuat adanya pengaruh bahwa perusahaan melakukan praktik perataan laba dengan memanipulasi rasio lancar perusahaan dimana perusahaan dengan nilai rasio yang tinggi memberikan kesan kemampuan perusahaan dalam melunasi hutang jangka pendeknya.
2. Manajemen laba mampu memoderasi hubungan antara rasio hutang terhadap underpricing.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dari Tabel 4.20 menunjukkan bahwa interaksi variabel independen dengan variabel moderating DER*DA memiliki nilai koefisien beta sebesar 1,427 dan nilai t hitung sebesar 0,879 dengan nilai signifikansi 0,386. Nilai signifikansi ini lebih tinggi dari 5%. Hal ini berarti menunjukkan bahwa manajaemen laba tidak mampu memoderasi hubungan antara rasio hutang dengan underpricing. Dengan demikian H2b dalam penelitian ini ditolak.
Hasil pada penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian ndrayani (2009) dan Nurlatifiyanti (2008) yang menyatakan bahwa leverage tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini dikarenakan kebijakan hutang yang tinggi menyebabkan perusahaan dimonitor oleh pihak debtholders (pihak ketiga). Karena monitoring dalam perusahaan yang ketat tadi menyebabkan manajer akan bertindak sesuai dengan kepentingan debtholders dan shareholders. Menurut Crutchley et. al dalam Putri dan Nasir (2006), kebijakan hutang yang tinggi menyebabkan perusahaan dimonitor oleh pihak debtholders (pihak ketiga). Debtholders yang sudah menanamkan dananya di perusahaan dengan sendirinya akan berusaha melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana tersebut. Kegiatan monitoring dalam perusahaan yang ketat, mendorong institusi untuk meningkatkan sahamnya pada perusahaan yang bersangkutan.
2. Manajemen laba mampu memoderasi hubungan anatara rasio aktivitas terhadap undepricing.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dari Tabel 4.20 menunjukkan bahwa interaksi variabel independen dengan variabel moderating TATO*DA memiliki nilai koefisien beta sebesar -1,180 dan nilai t hitung sebesar -1,399 dengan nilai signifikansi 0,170. Nilai signifikansi ini lebih besar dari 5%. Hal ini berarti menunjukkan bahwa manajaemen laba tidak mampu memoderasi hubungan antara rasio likuiditas dengan underpricing. Dengan demikian H3b dalam penelitian ini ditolak.
Secara teoritis rasio aktivitas adalah rasio yang mengukur seberapa efektif perusahaan dalam memanfaatkan semua sumber daya yang ada pada perusahaan tersebut. Semakin besar total aktiva perusahaan semakin kecil kemungkinan perusahaan melakukan praktik manajemen laba. Tidak berpengaruhnya rasio aktivitas terhadap underpricing menunjukkan bahwa investor cenderung mengabaikan informasi dari rasio aktivitas. Sehingga pihak manajerial tidak termotivasi dalam melakukan tindakan manajemen laba. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian Wulansari (2012), yang menunjukkan menunjukkan bahwa total aktiva tidak berpengaruh pada praktik manajemen laba.
3. Manajemen laba mamapu memoderasi hubungan antara rasio profitabilitas terhadap underpricing.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dari Tabel 4.20 menunjukkan bahwa interaksi variabel independen dengan variabel moderating ROA*DA memiliki nilai koefisien beta sebesar 5,896 dan nilai t hitung sebesar 2,429 dengan nilai signifikansi 0,022. Nilai signifikansi ini lebih rendah dari 5%. Hal ini berarti menunjukkan bahwa manajaemen laba mampu memoderasi hubungan antara rasio profitabilitas dengan underpricing. Dengan demikian H4b dalam penelitian ini diterima.
Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian Niken dan Sylvia (2009) , Yustisia (2006), Khoirudin (2007). Nilai ROA yang semakin tinggi akan menunjukkan bahwa perusahaanmampu menghasilkan laba di masa yang akan datang dan laba merupakan informasi penting bagi investor sebagai pertimbangan dalam menanamkan modalnya. ROA menunjukkan kemampuan manajemen dalam menghasilkan laba dengan memanfaatkan aktiva yang digunakan dalam kegiatan operasi. Secara teori diketahui bahwa perusahaan yang memiliki profitabilitas yang rendah lebih termotivasi untuk melakukan tindakan manajemen laba dengan cara meningkatkan laba. Semakin besar perubahan ROA menunjukkan semakin besar fluktuasi kemampuan manajemen dalam menghasilkan laba. Hal ini mempengaruhi investor dalam memprediksi laba dan memprediksi risiko dalam investasi sehingga memberikan dampak pada kepercayaan investor terhadap perusahaan. Sehubungan dengan itu, manajemen termotivasi untuk melakukan praktik perataan laba agar laba yang dilaporkan tidak berfluktuatif sehingga dapat meningkatkan kepercayaan investor (Budiasih, 2009).
4. Manajemen laba mamapu memoderasi hubungan inflasi terhadap undepricing.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dari Tabel 4.20 menunjukkan bahwa interaksi variabel independen dengan variabel moderating INF*DA memiliki nilai koefisien beta sebesar -4,464 dan nilai t hitung sebesar -0,215 dengan nilai signifikansi 0,831. Nilai signifikansi ini lebih rendah dari 5%. Hal ini berarti menunjukkan bahwa manajaemen laba mampu memoderasi hubungan antara rasio likuiditas dengan underpricing. Dengan demikian H5b dalam penelitian ini ditolak.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Situmeang (2004) dan Mukti (2011), inflasi yang terjadi pada periode penelitian ini relatif kecil, sehingga inflasi tidak mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan sehingga pihak manajemen tidak tertarik untuk melakukan tindakan manajemen laba pada perusahaan. Meskipun inflasi mengalami kenaikan, hal tersebut tidak berdampak pada laba secara signifikan. Pada dasarnya inflasi yang tinggi mencerminkan kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan terus-menerus, jika peningkatan biaya produksi lebih tinggi dari peningkatan harga yang dapat dinikmati oleh perusahaan maka profitabilitas perusahaan akan turun (Kewal, 2010). Jika profit yang diperoleh perusahaan kecil, hal ini akan mengakibatkan para investor enggan menanamkan dananya di perusahaan tersebut.
5. Manajemen laba mamapu memoderasi hubungan sbi terhadap undepricing.
Paauji (2012) Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dari Tabel 4.20 menunjukkan bahwa interaksi variabel independen dengan variabel moderating SBI*DA memiliki nilai koefisien beta sebesar -8,932 dan nilai t hitung sebesar -0,296 dengan nilai signifikansi 0,789. Nilai signifikansi ini lebih besar dari 5%. Hal ini berarti menunjukkan bahwa manajaemen laba tidak mampu memoderasi hubungan antara sbi dengan underpricing. Dengan demikian H6b dalam penelitian ini ditolak.
Suku bunga merupakan biaya modal bagi perusahaan, suku bunga yang tinggi akan mengurangi minat investor untuk menginvestasikan dananya ke pasar modal sehingga aktivitas perdagangan akan menurun sehingga membuat keuntungan perusahaan menurun (sujoko, 2007). Meskipun Tingkat suku bunga dapat mempengaruhi laba perusahaan, pihak manajemen tidak termotivasi untuk melakukan praktik manajemn laba. Karena tingkat suku bunga tidak menjadi faktor yang langsung menjadi pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya pada saham. Karena investor harus melihat faktor lain yang dapat menjadi indikator yang baik jika menanamkan modalnya dalam sebutah perusahaan.
6. Manajemen laba mamapu memoderasi hubungan kondisi pasar terhadap undepricing.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dari Tabel 4.20 menunjukkan bahwa interaksi variabel independen dengan variabel moderating KP*DA memiliki nilai koefisien beta sebesar 2,658 dan nilai t hitung sebesar 0,063 dengan nilai signifikansi 0,950. Nilai signifikansi ini lebih besar dari 5%. Hal ini berarti menunjukkan bahwa manajaemen laba tidak mampu memoderasi hubungan antara kondisi pasar dengan underpricing. Dengan demikian H7b dalam penelitian ini ditolak.
Manajemen laba adalah tindakan manajemen untuk memilih kebijakan akuntansi dari suatu standar tertentu dengan tujuan memaksimalkan kesejahteraan dan atau nilai pasar perusahaan. Kondisi ini terjadi karena earnings yang diumumkan pada saat IPO tampak relatif baik sehingga respon pasar menjadi positif. Tindakan manajemen laba dapat menyebabkan informasi yang terdapat pada laporan keuangan akan menjadi kurang bernilai bagi investor dan pihak yang berkepentingan lainnya. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian ini manajemen laba tidak mampu memoderasi hubungan antara kondisi pasar dengan underpricing. Penelitian ini sejalan dengan penelitain maya (2013) dan Kurniawan (2002) yang menyimpulkan bahwa variabel kondisi pasar tidak menjadi daya tarik investor dalam memutuskan investasinya, karena kondisi pasar cenderung mengarah pada analisis teknikal sedangkan para investor lebih menyukai analisis fundamental dalam menentukan investasinya.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang telah diberikan adalah sebagai berikut :
1. Analisis fundamental yang terdiri dari rasio likuiditas memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap underpricing. Sedangkan rasio hutang dan rasio profitabilias memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap underpricing. Dalam penelitian ini rasio aktivitas tidak berpengaruh terhadap underpricing.
2. Analisis nonfundamental yang terdiri dari inflasi, kondisi pasar dan suku bunga SBI. SBI memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap underpricing. Sedangkan inflasi dan kondisi pasar tidak berpengaruh terhadap underpricing.
3. Manajemen laba mampu memoderasi hubungan antara rasio profitabilitas terhadap underpricing. Namun manajemen laba tidak mampu memoderasi hubungan antara rasio likuiditas, rasio hutang, rasio aktifitas, inflasi, sbi, dan kondisi pasar terhadap underpricing.
5.2. Implikasi
Dari penelitian ini dapat membuktikan bahwa analisis fundamental yang terdiri dari rasio likuiditas memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap underpricing, sedangkan rasio hutang dan rasio profitabilitas berpengaruh negatif dan signifikan terhadap underpricing, dalam penelitian ini rasio aktivitas tidak berpengaruh terhadap underpricing. Hal ini membuktikan bahwa secara teoritis rasio likuiditas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban financial jangka pendek tepat pada waktunya. Perusahaan dengan tingkat rasio likuiditas yang tinggi membuktikan bahwa perusahaan tersebut likuid karena memiliki aktiva yang besar, sehingga akan menarik minat investor untuk membeli saham perusahaan tersebut dan memberikan dampak yang kepada besarnya atau tingginya harga saham perusahaan.
Rasio hutang yang berpengaruh negatif menggambarkan bahwa semakin rendah rasio hutang suatu perusahaan menunjukan semakin baik kemampuan perusahaan dalam melunasi hutang-hutang dengan ekuitas perusahaan sehingga sahamnya akan diburu oleh investor sehingga harga saham perusahaan tersebut akan meningkat dan terjadi underpricing.
Rasio profitabilitas sering digunakan oleh investor yang hendak menanamkan modalnya dapat sebagai bahan pertimbangan apakah emiten dalam operasinya nanti dapat memperoleh laba. Dengan kemampuan emiten yang tinggi untuk menghasilkan laba atas asetnya maka akan terlihat bahwa resiko yang akan dihadapi investor akan kecil. Ini berarti bahwa perusahaan dapat memanfaatkan seluruh asetnya dalam memperoleh laba.
Analisis nonfundamental dalam penelitian ini seperti Inflasi dan SBI memiliki pengaruh positif dan signifikan. Inflasi yang tinggi dan tidak terantisipasi akan meningkatkan harga barang dan jasa, sehingga konsumsi akan menurun, selain itu kenaikan harga faktor produksi juga akan meningkatkan biaya modal perusahaan, sehingga laju inflasi yang tidak terkendali akan menurunkan nilai dari perusahaan termasuk laba perusahaan. Oleh karena itu kenaikan inflasi akan menurunkan harga saham sehingga berpengaruh terhadap tingkat underpricing. Begitupula dengan SBI, secara teoritis investor cenderung lebih menyukai menabung pada saat tingkat bunga deposito tinggi, sebab investasi di bidang ini relatif tidak mengandung risiko. Sebaliknya investor akan lebih menyukai kecenderungan menginvestasikan uang dalam bentuk saham ketika tingkat bunga deposito rendah. Permintaan saham yang berkurang ini akan menurunkan harga saham dan berarti terjadi capital loss yang menyebabkan menurunnya return saham.
Manajemen laba dalam penelitian ini mampu memoderasi hubungan rasio likuiditas dan rasio profitabilitas terhadap undepricing. Kemampuan likuiditas sangat diperhatikan oleh pemilik perusahaan terkait dalam pembiayaan hutang jangka pendek yang dinilai sangat menguntungkan bagi perusahaan. Semakin tinggi tingkat likuiditas maka semakin baik kemampuan perusahaan dalam melunasi kewajiban jangka pendeknya namun tingkat likuiditas yang terlalu tinggi justru dianggap tidak baik mengingat bahwa likuiditas yang terlalu tinggi menunjukan bahwa manajemen buruk dalam mengelola sumber likuiditas sehingga hal tersebut memicu manajer untuk merlakukan perataan laba agar kinerjanya dinilai bagus. Manajemen laba mampu memoderasi hubungan anatara Rasio profitabilitas dengan underpricing. Rasio profitabilitas menunjukkan kemampuan manajemen dalam menghasilkan laba dengan memanfaatkan aktiva yang digunakan dalam kegiatan operasi. Semakin besarnya perubahan profitablitas perusahan menunjukkan semakin besar fluktuasi kemampuan manajemen dalam menghasilkan laba. Hal ini dapat mempengaruhi investor dalam memprediksi laba dan memprediksi risiko dalam investasi sehingga memberikan dampak pada kepercayaan investor terhadap perusahaan. Sehingga manajemen termotivasi untuk melakukan praktik perataan laba agar laba yang dilaporkan tidak berfluktuatif sehingga dapat meningkatkan kepercayaan investor.
5.3. Keterbatasan dan Saran
Keterbatasan dan saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Penelitian ini hanya menggunakan satu proksi dalam masing-masing rasio keuangan sebagai variabel independen. Dalam penilitian mendatang bisa menggunakan lebih dari satu proksi penelitian.
2. Rentang waktu yang digunakan pendek, sehingga sampel yang digunakan sangat terbatas, jika rentang waktu penelitian lebih diperpanjang maka hasilnya kan semakin baik.
3. Variabel-variabel independen dalam penelitian ini belum sepenuhnya menjelaskan secara keseluruhan variabel dependen, maka untuk peneliti selanjutnya perlu untuk menambah variabel-variabel lain yang diduga mempunyai hubungan signifikan terhadap underpricing seperti, rata-rata kurs, reputasi auditor, jenis industri, reputasi underwriter, ukuran perusahaan dan sebagainya.